JAKARTA, KOMPAS.com — Partai Amanat Nasional (PAN) menilai majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak layak menjerat Wa Ode Nurhayati, terdakwa kasus dugaan penerimaan suap pengalokasian Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), dengan hukuman. Pasalnya, di dalam fakta persidangan, disebutkan bahwa Wa Ode tidak pernah menerima suap dan bahkan meminta uang itu dikembalikan.
"Dari persidangan Wa Ode, terbongkar fakta-fakta kasus ini tidak layak menjeranya. Sangkaan suap sebagai dasar tindak pidana pencucian uang juga sangat lemah karena Wa Ode tidak pernah menerima langsung dari penyuap dan bahkan dia meminta untuk dikembalikan," ujar Wakil Sekretaris Jenderal PAN Teguh Juwarno, Kamis (18/10/2012), di Jakarta.
Dengan fakta-fakta itu, lanjut Teguh, majelis hakim seharusnya bisa obyektif dan menggunakan hati nurani untuk tidak menghukum Wa Ode.
"Apalagi Wa Ode lebih tepat sebagai whistle blower," ujarnya.
Kendati demikian, Teguh menyatakan partainya akan menghormati vonis hakim nantinya. Namun, Teguh melihat publik akan menilai apakah hakim sudah bersikap adil atau tidak.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dijadwalkan membacakan putusan perkara kasus dugaan penerimaan suap pengalokasian DPID dengan terdakwa Wa Ode Nurhayati. Pembacaan putusan tersebut berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (18/10/2012).
Di dalam persidangan sebelumnya, Wa Ode dituntut hukuman 14 tahun penjara untuk dua perbuatan pidana. Pertama, Wa Ode dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima suap terkait DPID senilai Rp 6,25 miliar. Kedua, dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang atas kepemilikan uang Rp 50,5 miliar dalam rekeningnya.
Selain hukuman penjara, Wa Ode dituntut membayar denda Rp 500 juta untuk masing-masing tindak pidana. Nilai denda Rp 500 juta tersebut dapat diganti dengan kurungan tiga bulan.
Menurut jaksa, berdasarkan fakta persidangan, Wa Ode terbukti melanggar Pasal 12 Ayat 1 Huruf a Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu primer.
Untuk itu, jaksa menuntut hakim memvonis Wa Ode bersalah dan menghukumnya empat tahun penjara. Terkait pencucian uang, Wa Ode dianggap terbukti melanggar Pasal 3 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sesuai dengan dakwaan kedua primer sehingga jaksa meminta hakim menghukum Wa Ode 10 tahun penjara.
Sementara itu, terkait tindak pidana korupsinya, Wa Ode dianggap terbukti menerima suap Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha, yakni Fahd El Fouz, Paul Nelwan, dan Abram Noch Mambu melalui Haris Surahman. Pemberian tersebut terkait dengan upaya Wa Ode selaku anggota Panita Kerja Transfer Daerah Badan Anggaran DPR dalam mengupayakan Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Minahasa sebagai penerima anggaran DPID. Pemberian uang ini diketahui Wa Ode berkaitan dengan posisinya sebagai anggota DPR sekaligus anggota Banggar DPR.
Adapun uang Rp 6,25 miliar dari Fahd merupakan bagian dari Rp 50,5 miliar yang disimpan dalam rekening pribadi Wa Ode di Bank Mandiri. Dalam kurun waktu Oktober 2010 sampai September 2011, Wa Ode melakukan beberapa kali transaksi uang masuk ke rekening Bank Mandiri KCP DPR yang seluruhnya berjumlah Rp 50,5 miliar.
Uang tersebut, menurut jaksa, kemudian disembunyikan asal-usulnya dengan ditransfer, dialihkan, dibelanjakan, dan digunakan sebagai pembayaran keperluan pribadi.
Atas tuntutan tersebut, Wa Ode mengajukan pleidoi atau nota pembelaan yang isinya membantah semua tuntutan jaksa. Menurutnya, jaksa menyusun tuntutan tidak berdasarkan fakta persidangan.
Berita terkait lainnya dapat diikuti di Topik: VONIS WA ODE.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.