Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nazaruddin, dari Kursi Dewan hingga Meja Hijau

Kompas.com - 20/04/2012, 09:38 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Semula, Muhammad Nazaruddin adalah salah satu kader muda terbaik yang dimiliki Partai Demokrat. Di usianya yang baru 33 tahun itu Nazaruddin memegang kendali puluhan perusahaan di bawah naungan induk perusahaan Grup Permai. Dia pun menempati jabatan struktural penting di Partai Demokrat.

Sebelum menjabat Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin yang juga mantan anggota DPR itu sempat menjadi bendahara Fraksi Partai Demokrat. Petaka bagi Nazaruddin dimulai saat namanya disebut terlibat kasus suap wisma atlet SEA Games 2011 yang menjerat anak buahnya, Mindo Rosalina Manulang. Pada 21 April 2011, Mindo tertangkap tangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi seusai serah terima suap bersama Mohamad El Idris (Manajer PT Duta Graha Indah/ PT DGI) serta Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam.

Kuasa hukum Mindo (sekarang bukan lagi), Kamaruddin Simanjuntak, menyebut kalau Mindo hanya mengikuti perintah atasannya, Muhammad Nazaruddin, untuk mengawal pemenangan PT DGI sebagai pelaksana proyek wisma atlet SEA Games. Usut diusut, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya menetapkan Nazaruddin sebagai tersangka kasus yang sama dengan Mindo. Nazaruddin diduga menerima pemberian berupa cek senilai Rp 4,6 miliar dari PT DGI, pemenang tender wisma atlet. Uang ini merupakan upaya pemenangan tender yang dilakukan Nazaruddin melalui salah satu perusahaannya, PT Anak Negeri.

Buron ke luar negeri

Sayangnya, KPK terlambat mencegah Nazaruddin bepergian ke luar negeri. Sehari sebelum dicegah ke luar negeri, atau 23 Mei 2011, Nazaruddin bertolak ke Singapura dengan alasan berobat. Saat itu, KPK belum menetapkan Nazar sebagai tersangka. Nazaruddin yang pergi bersama istrinya, Neneng Sri Wahyuni, itu tidak juga kembali hingga tertangkap di Cartagena, Kolombia, pada 7 Agustus 2011.

Terkait buronnya Nazaruddin ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi agar aparat penegak hukum berkoordinasi menangkap Nazaruddin.

Menuding Anas Urbaningrum

Dalam perlariannya, Nazaruddin sempat mengadakan komunikasi jarak jauh dengan pewarta warga, Iwan Piliang. Melalui Skype, Nazar menuding sejumlah pihak termasuk Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Wakil Pemimpin KPK Chandra M Hamzah (sekarang mantan) merekayasa kasusnya. Nazaruddin mengancam akan membeberkan aliran dana Partai Demokrat yang menurut dia dari hasil korupsi. Tudingan terhadap Anas dan sejumlah petinggi Partai Demokrat lainnya berlanjut hingga Nazaruddin duduk di kursi persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Kepada media, Nazaruddin menuding Anas terlibat kasus Hambalang yang tengah diselidiki KPK. Nazaruddin menyebut uang suap dialirkan untuk pemenangan Anas menjadi ketua umum dalam Kongres II Partai Demokrat di Bandung pada Mei 2010. Dalam berita acara pemeriksaan Nazaruddin, Anas disebut sebagai pihak yang mengatur proyek pembangunan Hambalang. Selain Anas, Nazaruddin juga menuding pejabat Demokrat lainnya, yakni Angelina Sondakh, Mirwan Amir, dan Djafar Hafsah menerima uang wisma atlet. Angelina ditetapkan sebagai tersangka korupsi wisma atlet pada awal Februari lalu.

Dituntut tujuh tahun

Dalam kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games 2011, Nazaruddin dituntut hukuman tujuh tahun penjara ditambah denda Rp 300 juta yang dapat diganti enam bulan kurungan. Tim jaksa penuntut umum dalam persidangan yang berlangsung beberapa waktu lalu menilai Nazaruddin terbukti menerima suap Rp 4,6 miliar dari PT DGI. Selaku penyelenggara negara, Nazaruddin terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan dakwaan primer. Pasal ini menjerat pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah karena melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Ancaman hukuman maksimalnya 20 tahun penjara.

Jaksa pun menilai, buronnya Nazaruddin menjadi hal yang memberatkan Nazaruddin. "Akibatnya, negara mengeluarkan uang cukup besar untuk mengembalikan terdakwa ke Indonesia," kata jaksa Anang Supriyatna, membacakan tuntutan beberapa waktu lalu. Dalam surat tuntutannya, tim jaksa penuntut umum KPK juga meminta majelis hakim menyita sejumlah barang bukti yang berguna bagi KPK mengusut kasus lain Nazaruddin. Salah satunya adalah catatan pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia.

Kasus pembelian saham PT Garuda ini tengah disidik KPK. Selain terjerat kasus suap wisma atlet, Nazaruddin ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pembelian saham perdana PT Garuda Indonesia. Ia diduga membeli saham perdana Garuda dengan menggunakan uang suap wisma atlet.

Nazaruddin minta dibebaskan

Menanggapi tuntutan jaksa, pihak Nazaruddin mengajukan pleidoi atau nota pembelaan. Dalam pleidoi pribadinya yang dibacakan di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu, Nazaruddin mengaku hanya menjalankan perintah Anas Urbaningrum. Dia buron ke luar negeri pun atas perintah Anas.

Nazaruddin mengaku tidak tahu-menahu soal proyek wisma atlet hingga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Dia mengaku hanya diminta Anas mengurus proyek Hambalang. Bahkan, Nazaruddin juga tidak merasa jadi buronan selama berpindah-pindah negara dengan menyewa jet pribadi. Ia mengaku kalau perjalanannya itu dalam rangka urusan bisnis.

Pihak Nazaruddin juga mengklaim kalau jaksa penuntut umum tidak dapat menunjukkan barang bukti berupa uang Rp 4,6 miliar yang diterima Nazaruddin. Menurut pihak kuasa hukum, uang tersebut tidak mengalir ke kantong pribadi Nazaruddin, tetapi ke kas Grup Permai yang dikuasai Anas dan tangan kanannya, Yulianis.

Kasus lain Nazaruddin

Pagi ini, Nazaruddin dijadwalkan mendengarkan pembacaan vonis atas perkara suap wisma atlet yang didakwakan kepadanya. Tim kuasa hukum Nazaruddin berharap kliennya itu divonis bebas lantaran, menurut mereka, tidak ada saksi ataupun bukti yang mendukung dakwaan jaksa. Sementara itu, tim jaksa penuntut umum KPK yakin tuntutannya akan dikabulkan majelis hakim.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto kemarin mengatakan, putusan Nazaruddin ini akan menjadi bahan KPK dalam mengusut kasus lain Nazaruddin. "KPK akan menggunakannya secara optimal bagi kepentingan proses pemeriksaan yang kini tengah dilakukan," katanya. Menurut Bambang, pemeriksaan dan pengembangan kasus Nazaruddin yang lain terus berlangsung di KPK.

Seperti diketahui, ada lebih dari 30 kasus korupsi proyek pemerintah lain yang diduga berkaitaan dengan perusahaan Nazaruddin. KPK butuh sekitar 10 tahun untuk menuntaskan seluruh kasus Nazaruddin itu. Kasus-kasus itu, di antaranya, kasus TPPU saham Garuda (penyidikan), kasus Hambalang (penyelidikan), kasus pengadaan proyek wisma atlet (penyelidikan), kasus korupsi wisma atlet yang menjerat Angelina Sondakh (penyidikan), pengadaan alat laboratorium di sejumlah universitas (penyidikan), dan kasus proyek Revitalisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) di Kementerian Pendidikan Nasional tahun anggaran 2007 (penyelidikan).

Ini bukan final

Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, saat dihubungi Kompas.com kemarin, mengatakan, KPK harus mengusut semua kasus yang diduga melibatkan Nazaruddin itu. Setidaknya, kata dia, jika dalam kasus dugaan suap wisma atlet, majelis hakim menghukum ringan Nazaruddin, mantan anggota DPR itu dapat dihukum berat dalam kasus lainnya.

"Ini bukan proses final untuk Nazaruddin," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    DPR Tunggu Surpres Sebelum Bahas RUU Kementerian Negara dengan Pemerintah

    DPR Tunggu Surpres Sebelum Bahas RUU Kementerian Negara dengan Pemerintah

    Nasional
    Nurul Ghufron Akan Bela Diri di Sidang Etik Dewas KPK Hari Ini

    Nurul Ghufron Akan Bela Diri di Sidang Etik Dewas KPK Hari Ini

    Nasional
    Prabowo Nilai Gaya Militeristik Tak Relevan Lagi, PDI-P: Apa Mudah Seseorang Berubah Karakter?

    Prabowo Nilai Gaya Militeristik Tak Relevan Lagi, PDI-P: Apa Mudah Seseorang Berubah Karakter?

    Nasional
    Hadir di Dekranas Expo 2024, Iriana Jokowi Beli Gelang dan Batik di UMKM Binaan Pertamina

    Hadir di Dekranas Expo 2024, Iriana Jokowi Beli Gelang dan Batik di UMKM Binaan Pertamina

    Nasional
    Jokowi Ucapkan Selamat ke PM Baru Singapura Lawrence Wong

    Jokowi Ucapkan Selamat ke PM Baru Singapura Lawrence Wong

    Nasional
    Seputar Penghapusan Kelas BPJS dan Penjelasan Menkes...

    Seputar Penghapusan Kelas BPJS dan Penjelasan Menkes...

    Nasional
    Konflik Papua: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

    Konflik Papua: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

    Nasional
    Para 'Crazy Rich' di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah serta Deretan Aset yang Disita

    Para "Crazy Rich" di Antara 21 Tersangka Korupsi Timah serta Deretan Aset yang Disita

    Nasional
    Soal Kelas BPJS Dihapus, Menkes: Dulu 1 Kamar Isi 6-8 Orang, Sekarang 4

    Soal Kelas BPJS Dihapus, Menkes: Dulu 1 Kamar Isi 6-8 Orang, Sekarang 4

    Nasional
    Babak Baru Kasus Vina Cirebon: Ciri-ciri 3 Buron Pembunuh Diungkap, Polri Turun Tangan

    Babak Baru Kasus Vina Cirebon: Ciri-ciri 3 Buron Pembunuh Diungkap, Polri Turun Tangan

    Nasional
    Wacana Kabinet Gemuk: Kemunduran Reformasi Birokrasi?

    Wacana Kabinet Gemuk: Kemunduran Reformasi Birokrasi?

    Nasional
    Gaya Pemerintahan Prabowo Diharap Tidak Satu Arah seperti Orde Baru

    Gaya Pemerintahan Prabowo Diharap Tidak Satu Arah seperti Orde Baru

    Nasional
    Gaya Kepemimpinan Prabowo yang Asli

    Gaya Kepemimpinan Prabowo yang Asli

    Nasional
    [POPULER NASIONAL] PDI-P Anggap Pernyataan Prabowo Berbahaya | Ketua KPU Jelaskan Tudingan Gaya Hidup 'Jetset'

    [POPULER NASIONAL] PDI-P Anggap Pernyataan Prabowo Berbahaya | Ketua KPU Jelaskan Tudingan Gaya Hidup "Jetset"

    Nasional
    Prabowo Ogah Pemerintahannya Diganggu, PKB Ingatkan 'Checks and Balances'

    Prabowo Ogah Pemerintahannya Diganggu, PKB Ingatkan "Checks and Balances"

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com