JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman penjara empat tahun terhadap aktor era 1980-an, Herman Felani. Ia dianggap terbukti melakukan tindak pidana korupsi terkait tiga proyek pengadaan di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Selain hukuman penjara, Herman diharuskan membayar denda Rp 200 juta yang dapat diganti kurungan empat bulan ditambah uang pengganti senilai Rp 1,3 miliar.
"Selambat-lambatnya dibayarkan selama sebulan setelah putusan memperoleh putusan tetap, jika tidak, harta kekayaan terdakwa disita dan dilelang. Apabila tetap tidak memenuhi uang pengganti tersebut, terdakwa dipenjara selama setahun," kata Ketua Majelis Hakim Tipikor, Tati Hadiyanti, dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (17/4/2012).
Hukuman ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi yang meminta Herman dihukum enam tahun penjara dengan denda Rp 200 juta yang dapat diganti tiga bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, hal yang memberatkan Herman, perbuatannya tidak mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, sedangkan hal yang meringankan hukuman Herman, terdakwa masih punya tanggungan keluarga, serta ikut berjasa memajukan dunia perfilman nasional dan menghibur masyarakat.
Anggota majelis hakim, Marsuddin Nainggolan mengatakan, Herman terbukti melakukan tindak pidana korupsi pada tiga proyek Pemerintah Provinsi DKI Jakrta, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Kepala Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jornal Effendi Siahaan, Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Provinsi DKI Budirama Natakusumah, Kepala TU Kantor Dukcapil Provinsi DKI Harry Susanto, Kepala Dinas Kependudukan Edison Sianturi, Kepala PPLHD Hotman Silaen, dan Raj Indra Singh.
Ketiga proyek tersebut adalah, pengadaan jasa filler hukum pada Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta yang bersumber APBD tahun 2007, proyek pemeliharaan dan operasional sarana dan prasarana serta penatausahaan (sosialisasi lingkungan hidup) pada Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta yang bersumber dari APBD tahun 2007, dan proyek terkait produksi dan Penayangan Iklan Layanan Masyarakat (PSA) dalam rangka sosialisasi urbanisasi melalui media elektronik pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta yang bersumber dari APBD 2007.
Perbuatan Herman itu melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Berdasarkan fakta persidangan, pada pengadaan filler tahun 2007, Herman bersama Raj Indra Singh menemui R Norman selaku Kepala Bagian Dokumentasi dan Publikasi Biro Hukum Sekretariat Daerah DKI Jakarta dan meminta agar perusahaannya, CV Sandi Perkasa diikutsertakan dalam proyek. Herman pun menyanggupi membayar uang akselerasi sebesar 10 persen dari nilai proyek ke pelaksana proyek. Akhirnya, perusahaan Herman dimenangkan.
Modus yang sama dilakukan Herman dalam pengadaan pemeliharaan dan operasional sarana dan prasarana serta penatausahaan di BPLHD DKI Jakarta. Herman menemui Kepala BPLHD Jakarta, Budirama Natakusumah dan meminta Pejabat Pembuat Komitmen Hotman Silaen untuk memenangkan perusahannya, PT Global Vision Universal dalam proyek ini.
Untuk pengadaan produksi dan Penayangan Iklan Layanan Masyarakat (PSA) di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Herman juga meminta agar perusahaannya, PT Global Vision Universal dimenangkan. Ia bersama Triyitno Unarto dan Suwandono menemui Harry Susanto (Kabag Tata Usaha Kantor Dukcapil DKI Jakarta) meminta PT Global dimenangkan.
Harry kemudian memanggil Edison Sianturi kuasa pengguna anggaran Dukcapil agar dalam proyek ini berkonsultasi dengan terdakwa. Adapun kerugian negara yang timbul akibat korupsi pada tiga proyek ini mencapai Rp 3,8 miliar. Sedangkan Herman memperoleh keuntungan Rp 1,3 miliar dari tiga proyek tersebut.
Selain itu, Herman melalui istrinya yang bernama Mutia Datau terbukti memberikan uang ke sejumlah orang di Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta, yakni Jornal sebesar Rp 500 juta, M Norman sebesar Rp 600 juta. Berikutnya diberikan kepada PPK di BPLHD DKI Jakarta, Hotman Silaen sebesar Rp 320 juta dan Made Suharjaya Rp 45 juta.
"Dalam pengadaan di Dukcapil terdakwa melalui istrinya, Mutia Datau memberikan uang kepada Endang Kadarusman sebesar Rp120 juta. Hal ini sesuai dengan keterangan saksi Endang Kadarusman dan keterangan terdakwa," ujar hakim Marsudin.
Atas putusan ini, baik Herman maupun tim jaksa penuntut umum KPK pikir-pikir akan mengajukan banding atau tidak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.