Kalau demikian, mestikah kita membiarkan saja kebohongan? Sama sekali tidak. Sebab, kata Kant, pembohong dan kebohongannya telah melukai, menistakan, dan meniadakan martabat manusia. Lebih lanjut, ujar Kant, juga jika terjadi dengan maksud baik, kebohongan akan mengakibatkan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Dengan jatuhnya ketidakpercayaan, roboh pula sendi-sendi hukum. Kemanusiaan akan menderita karenanya. Bohong itu merugikan, tidak hanya karena merugikan orang lain, tetapi juga karena ia mengeringkan sumber-sumber hukum.
Tak usah kita berguru kepada pemikir Barat untuk mengutuk kebohongan. Guru bangsa kita, Prof Dr Hamka, sudah mengulas habis kebohongan dalam bukunya, Bohong di Dunia (cetakan III, 1971). Hamka mengulas apa itu kebohongan; bagaimana sikap agama-agama Nasrani, Yahudi, dan Islam terhadap kebohongan; bohong dalam ilmu jiwa; dan pendapat para filsuf, Aristoteles, Rosseau, dan Stanley Hall, tentang kebohongan.
Dalam pengantar buku tersebut—ditulis di Bukittinggi tahun 1949—Hamka mengutip sabda Nabi Muhammad SAW, ”Dusta adalah ibu daripada segala dosa.” Hamka prihatin, betapa pada waktu itu kebohongan sudah bersimaharajalela dan betapa karena kebohongan, bangsa ini tetap melarat dan tidak bisa maju.
Menurut Hamka, pada fitrahnya, manusia sesungguhnya adalah benar dan jujur. Suara hati yang asli adalah jujur dan tidak mau berbohong. Keadaan lain yang datang tiba-tiba memaksa manusia menempuh jalan bohong. Lalu, diberikannya gambaran tentang kebenaran. Gambaran Hamka tentang pentingnya kebenaran dan seruannya untuk melawan kebohongan ini harus tetap berkumandang:
”Cobalah menoleh ke mana saja pun tuan mau, tuan akan melihat bahwasanya kebenaranlah yang jadi sendi segala macam bidang kehidupan. Saudagar yang pembohong hanya berlaba sebentar, ekonom yang sejati harus bergantung pada kejujuran, amanat, keteguhan janji, dan keberesan buku perniagaan yang dijalankan dengan segala macam kicuh tidak memberikan ketenteraman bagi jiwa dan tidak kemakmuran. Saudagar penipu hanya berlaba amat sedikit dan rugi lebih banyak karena dia memandang keuntungan yang sekejap bukan laba yang berlama. Tukang yang pemungkir janji dan tidak meladeni kehendak langganan lekas ditinggalkan orang. Majikan yang pembohong diboikot anak semangnya. Guru yang pembohong ditinggalkan muridnya.”
Dan, betapa kata-kata Hamka tentang kebohongan dalam dunia hukum ini seperti memantulkan kembali karut-marut hukum kita dewasa ini: ”Hakim yang pembohong mengacaukan jalan perkara dan menghilangkan rasa keamanan rakyat. Si tertuduh yang berdusta mempersulit jalan perkara. Kesaksian dusta pun lebih mengacaukan lagi: keadilan tersembunyi, orang yang benar teraniaya, dan orang yang bersalah terlepas dari hukuman. Bangsa yang pembohong membawa merosot seluruh kebangsaannya dan kemuliaan negaranya.”
Hamka mengatakan bahwa bohong itu dinamai juga khianat. Dan, untuk itu ia mengutip sabda Nabi Muhammad SAW: ”Amatlah besarnya khianatmu jika engkau cakapkan kepada saudaramu suatu perkara, yang dia menyangka perkataanmu benar. Padahal, engkau sendiri merasa bahwa engkau berdusta.”
Sekali lagi, betapa relevannya kata-kata ini bagi dunia persidangan korupsi kita akhir-akhir ini: khianat adalah laknat.
Jembatan kejujuran
Bohong adalah kanker di hati manusia. Dan, bohong itu bermuara di bibirnya. Karena itu, kebijakan Jawa mengajar: Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana (harga diri manusia ada dalam bibirnya, nilai raga ada dalam busananya). Orang boleh berdandan secantik Putri Indonesia, tetapi apabila ia tidak bisa menjaga bibirnya—artinya suka berbohong—ia tidak berharga sama sekali. Keelokan hanya pada busana dan raganya dan keelokan macam ini hanyalah luaran belaka sejauh tidak dibarengi keelokan bibirnya: bukan karena olesan lipstik mahal, melainkan karena menjadi muara kejujuran hatinya.