JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) Bambang Eka Cahyo Widodo mengungkapkan sepanjang tahun 2011 pihaknya memperoleh data 1.178 pelanggaran pemilihan umum kepala daerah dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu Kada).
Temuan maupun laporan pelanggaran tersebut tidak semua dapat ditindaklanjuti sebab tidak semuanya memenuhi bukti permulaan yang cukup atau karena kedarluwarsa bagi pelanggaran pidana. "Dari jumlah itu totalnya ada 781 temuan dan atau laporan yang diteruskan kepada KPU atau kepolisian," ujar Bambang di Jakarta, Rabu (25/1/2012) sore.
Sementara itu dari jumlah tersebut sekitar 565 temuan dan laporan diteruskan untuk ditangani Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan jajarannya karena memenuhi unsur pelanggaran administrasi. Sedangkan laporan yang terindikasi sebagai laporan tindak pidana berjumlah 998 dengan jumlah 372 laporan diteruskan pengawas pemilu ke penyidik kepolisian dan sisanya 626 tidak diteruskan ke kepolisian.
Beberapa pelanggaran diantaranya pelanggaran administrasi di mana tidak optimalnya Penyelenggara Pemilukada dalam melakukan pendataan terhadap warga yang sudah memenuhi isyarat sebagai pemilih. "Dalam melakukan pengumpulan data pemilih tetap (DPT) banyak terjadi permasalahan diantaranya warga yang memenuhi persyaratan sebagai pemilih, tak terdaftar di DPT, dan ada juga yang tidak terdaftar, justru ikut dalam hak pilih," terangnya.
Selain itu, kata Bambang, pelanggaran juga dilakukan karena ada konflik kepentingan antara beberapa kepala daerah dengan penyelenggara pemilukada dan KPU yang tidak secara lengkap mempersiapkan calon yang akan maju pemilihan, sehingga seringkali terdapat kekurangan dalam proses pilkada.
"Bisa ada conflict of interest dari penyelenggara pemilu dengan pasangan calon sehingga di beberapa daerah ditemukan adanya bakal calon yang seharusnya memenuhi syarat dinyatakan tidak lolos oleh KPU," tutur Bambang.
Pelanggaran lain dalam tindak pidana pemilu, lanjut Bambang, berupa politik uang yakni iming-iming uang kepada beberapa pihak agar dimenangkan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang mengikuti kampanye pada jam kerja dan memakai atribut kampanye.
"PNS bahkan ada yang jadi orator untuk kampanye. Itu kan tidak boleh, dilakukan juga. Paling depan saat kampanye padahal itu melanggar aturan. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini yang ke depan harus dievaluasi sehingga tidak terjadi lagi," pungkas Bambang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.