Sejak awal tahun, pemerintah gencar mengemukakan rencana pembatasan pemakaian bahan bakar minyak bersubsidi bagi mobil pelat hitam di Jawa dan Bali pada
Pemerintah berdalih, kebijakan itu untuk menghemat premium bersubsidi 5,8 juta kiloliter. Tanpa pengendalian, konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan 43,5 juta kiloliter, melampaui kuota APBN 2012 sebesar 40 juta kiloliter.
Dari total kuota itu, sebanyak 2,5 juta kiloliter jenis premium tidak dicairkan anggarannya dan akan dievaluasi realisasinya dalam APBN Perubahan 2012. Alasan lain agar subsidi tepat sasaran.
Namun, hingga kini persiapan pelaksanaan program itu masih kedodoran. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi angkat tangan menghadapi ruwetnya persiapan pembatasan BBM bersubsidi. Himpunan ini juga telah meminta pemerintah agar menunda pembatasan BBM bersubsidi dan mengusulkan jalan lain menghemat subsidi, yaitu menaikkan harga premium bersubsidi secara bertahap.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menyatakan, kesiapan penyediaan pertamax baru sebatas wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dari 3.062 SPBU wilayah Jawa dan Bali, baru ada 2.080 SPBU yang sudah menjual pertamax, itu pun kebanyakan baru satu tangki. Sementara 687 SPBU berpotensi untuk mengalihkan tangki pendam ke pertamax, 295 SPBU perlu investasi baru.
Persiapan infrastruktur BBM nonsubsidi ini terkendala belum adanya payung hukum pembatasan BBM bersubsidi lewat revisi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga eceran BBM bersubsidi.
Apalagi, belum ada bantuan pinjaman lunak dari pemerintah untuk membangun sarana dan fasilitas pertamax di SPBU dengan biaya sekitar Rp 450 juta per tangki.
Dari sisi pasokan, kemampuan kilang-kilang pengolahan nasional umumnya saat ini belum dapat mengolah minyak mentah menjadi pertamax dalam skala keekonomian. Jalan satu-satunya adalah menambah impor HOMC (high octane mogas component) pertamax dan hal itu tentu membutuhkan waktu untuk persiapan serta negosiasi harga bahan impor tersebut.
Mekanisme pengawasan distribusi premium bersubsidi pun belum jelas. Para petugas SPBU belum mendapat sosialisasi dan pelatihan mengenai implementasi program itu. Jumlah petugas juga tidak memadai untuk melaksanakan sekaligus mengawasi penyaluran bahan bakar bersubsidi di tiap-tiap SPBU. Apalagi, rencananya ada jalur pemisah antara pengguna premium bersubsidi dan pengguna pertamax.
Sementara itu, pemanfaatan alat kendali konsumsi premium bersubsidi dengan sistem teknologi informasi juga belum siap dilaksanakan pada 1 April 2012. Bahkan, pemerintah belum menetapkan sistem teknologi informasi yang akan digunakan sebagai alat kendali, apakah alat identifikasi dengan gelombang radio (RFID), kartu kendali,