Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makin Dekat Waktunya, Makin Tidak Siap

Kompas.com - 24/01/2012, 03:11 WIB

Sejak awal tahun, pemerintah gencar mengemukakan rencana pembatasan pemakaian bahan bakar minyak bersubsidi bagi mobil pelat hitam di Jawa dan Bali pada 1 April 2012. Nantinya, premium bersubsidi hanya untuk angkutan umum, taksi, kendaraan roda dua dan tiga, serta mobil operasional usaha mikro, kecil, dan menengah.

Pemerintah berdalih, kebijakan itu untuk menghemat premium bersubsidi 5,8 juta kiloliter. Tanpa pengendalian, konsumsi BBM bersubsidi diperkirakan 43,5 juta kiloliter, melampaui kuota APBN 2012 sebesar 40 juta kiloliter.

Dari total kuota itu, sebanyak 2,5 juta kiloliter jenis premium tidak dicairkan anggarannya dan akan dievaluasi realisasinya dalam APBN Perubahan 2012. Alasan lain agar subsidi tepat sasaran.

Namun, hingga kini persiapan pelaksanaan program itu masih kedodoran. Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi angkat tangan menghadapi ruwetnya persiapan pembatasan BBM bersubsidi. Himpunan ini juga telah meminta pemerintah agar menunda pembatasan BBM bersubsidi dan mengusulkan jalan lain menghemat subsidi, yaitu menaikkan harga premium bersubsidi secara bertahap.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Karen Agustiawan menyatakan, kesiapan penyediaan pertamax baru sebatas wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dari 3.062 SPBU wilayah Jawa dan Bali, baru ada 2.080 SPBU yang sudah menjual pertamax, itu pun kebanyakan baru satu tangki. Sementara 687 SPBU berpotensi untuk mengalihkan tangki pendam ke pertamax, 295 SPBU perlu investasi baru.

Persiapan infrastruktur BBM nonsubsidi ini terkendala belum adanya payung hukum pembatasan BBM bersubsidi lewat revisi Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga eceran BBM bersubsidi.

Apalagi, belum ada bantuan pinjaman lunak dari pemerintah untuk membangun sarana dan fasilitas pertamax di SPBU dengan biaya sekitar Rp 450 juta per tangki.

Dari sisi pasokan, kemampuan kilang-kilang pengolahan nasional umumnya saat ini belum dapat mengolah minyak mentah menjadi pertamax dalam skala keekonomian. Jalan satu-satunya adalah menambah impor HOMC (high octane mogas component) pertamax dan hal itu tentu membutuhkan waktu untuk persiapan serta negosiasi harga bahan impor tersebut.

Mekanisme pengawasan distribusi premium bersubsidi pun belum jelas. Para petugas SPBU belum mendapat sosialisasi dan pelatihan mengenai implementasi program itu. Jumlah petugas juga tidak memadai untuk melaksanakan sekaligus mengawasi penyaluran bahan bakar bersubsidi di tiap-tiap SPBU. Apalagi, rencananya ada jalur pemisah antara pengguna premium bersubsidi dan pengguna pertamax.

Sementara itu, pemanfaatan alat kendali konsumsi premium bersubsidi dengan sistem teknologi informasi juga belum siap dilaksanakan pada 1 April 2012. Bahkan, pemerintah belum menetapkan sistem teknologi informasi yang akan digunakan sebagai alat kendali, apakah alat identifikasi dengan gelombang radio (RFID), kartu kendali, single product multipricing, atau teknologi pelarut penanda.

Opsi non-TI atau manual adalah yang paling memungkinkan dilakukan dalam tahap awal pelaksanaan pengendalian konsumsi BBM bersubsidi melalui penataan ulang tata letak SPBU, misalnya melalui jalur khusus pembeli pertamax. Namun, hal itu akan mengakibatkan penjatahan konsumsi harian premium bersubsidi bagi angkutan umum dan taksi sulit dilakukan.

Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas mensinyalir, dengan adanya pembatasan premium bersubsidi, sepanjang Januari-Maret 2012 penimbunan dan pembelian premium bersubsidi akan meningkat, pengoplosan dan antrean BBM bersubsidi dengan memakai tangki modifikasi dan jeriken makin marak. Selain itu, dampak sosial kebijakan itu akan terjadi, yakni melonjaknya harga kebutuhan dasar dan terjadi unjuk rasa.

Begitu pembatasan BBM diterapkan, BPH Migas mengidentifikasi, pembelian BBM bersubsidi di luar Jabodetabek akan meningkat, ada kerja sama antara operator SPBU dan pembeli dengan harga kesepakatan (di atas harga subsidi) untuk pengguna mobil pribadi di sekitar Jabodetabek. Selain itu, pembelian BBM bersubsidi dengan memakai mobil pelat kuning atau merah palsu yang tak sesuai peruntukannya akan marak.

Dampak lain adalah meningkatnya substitusi pengguna transportasi dari kendaraan roda empat ke roda dua serta meningkatnya penimbunan BBM bersubsidi di luar Jabodetabek (Jawa dan Bali) sehingga terjadi kelangkaan di wilayah Jawa dan Bali. Hal lain yang perlu diantisipasi adalah terjadi migrasi premium dari luar Jabodetabek atau rembesan premium.

Rumitnya persiapan pembatasan BBM bersubsidi dan dampak sosialnya tentu harus diantisipasi dengan baik oleh pemerintah sejak awal. Tanpa ada persiapan matang, baik sosialisasi kepada masyarakat, kesiapan infrastruktur maupun mekanisme pengawasannya, kebijakan itu akan sulit dijalankan sesuai dengan rencana.

(EVY RACHMAWATI)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com