Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Bawah Naungan Islamis

Kompas.com - 31/12/2011, 02:47 WIB

Dalam sistem demokrasi illiberal, pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan individu berlangsung lewat tirani mayoritas. Jenis dan volume kebebasan warga negara ditentukan oleh selera mayoritas. Hak dasar atas kebebasan pun dianggap tidak melekat pada individu.

Kekhawatiran ini kini nyata dan sangat beralasan di Mesir ataupun Libya; tetapi tidak di Maroko ataupun Tunisia. Shadi Hamid, ahli Ikhwanul Muslimin, merumuskan: apabila ada kesempatan, kalangan Islamis yang berkuasa pasti akan mengusung legislasi-legislasi sosial yang konservatif (socially conservative legislation) seperti segregasi seksual, pengetatan aturan perempuan, dan aspek-aspek trivial dari Islam.

Namun, sosiolog Saad Eddin Ibrahim optimistis bahwa kultur dagelan (ruh al-marh) yang melekat pada orang Mesir dan masyarakat Arab yang relatif terbuka justru akan menjadi aspek penghalang bagi penerapan legislasi sosial yang illiberal (al-Masr al-Yaum, 16/7/2011).

Berubah atau gagal

Tidak ada jalan lain. Pilihan kaum Islamis pada era demokrasi adalah gagal memerintah atau berubah. Olivier Roy percaya, alih-alih memaksakan ketentuan syariat (the logic of the syariah), kaum Islamis justru akan memeluk kekuasaan dan bermain dalam kerangka logis bernegara (the logic of the state).

Penilaian normatif di atas kurang menggambarkan pola-pola hubungan kaum Islamis dengan kekuasaan. Studi James Piscatori yang menguji tiga model performa kaum Islamis di Iran, Turki, dan Palestina menampilkan beberapa catatan menarik.

Menurut Piscatori, (1) ideologi tidaklah serta-merta akan menjadi rompi pengekang (strait jacket) kalangan Islamis untuk bermanuver dan bertransformasi. Tak hanya partai Islam Turki yang berubah dari Erbakanisme menuju Erdoganisme; kaum Islamis Iran pun bergerak di antara pendulum tuntutan demokrasi dan kuasa clerisocracy ala mullah. Hamas pun berubah dari retorika ”perempuan adalah tempat mengandung dan pengayom keluarga” menjadi penyertaan perempuan secara lebih aktif dalam kegiatan sosial, parlemen, bahkan angkatan bersenjata.

Memang (2) tantangan riil memerintah tidak serta-merta mentransformasi mereka menjadi pengingkar nilai-nilai dan ideologi asasi mereka. Sudah pasti pula mereka tidak akan menjadi liberal, kecuali dalam soal ekonomi. Yang pasti, mereka akan lebih terbuka pada pragmatisme.

Namun, di tingkat aksi besar, kemungkinan mereka tak akan mengambil portofolio kementerian yang sensitif, seperti soal pertahanan dan urusan luar negeri. Radikalisasi kalangan Islamis, kata Shadi Hamid, kemungkinan tak akan terjadi dalam kebijakan luar negeri (Foreign Affair edisi Mei-Juni 2011).

(3) Radikalisasi atau moderasi kalangan Islamis juga ditentukan oleh sistem politik negara masing-masing. Faktor ini ikut menentukan apakah mereka akan menjadi lebih demokratis seperti Turki atau tetap otoriter sebagaimana Iran ataupun Gaza.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com