Oleh
Panen raya elektoral kaum Islamis kini menimbulkan pertanyaan tentang paras Islamisme saat berkuasa. Apakah kaum Islamis akan mengalami moderasi atau justru lebih radikal?
Dengan kata lain: apakah kaum Islamis akan mengubah sistem (transform the system) atau justru berubah oleh sistem (be transformed by the system)?
Banyak faktor sosial-politik-ekonomi yang menjelaskan mengapa partai-partai Islamis mampu mengalahkan partai-partai sekuler. Salah satunya adalah kegagalan rezim-rezim otoriter non-Islamis. Partai Islamis tinggal menuduh kegagalan lawan politiknya ini ”akibat tidak menerapkan syariat, westernis, dan kolaborator zionis”. Inilah yang menguntungkan mereka dalam pemilu dan kini saatnya membuktikan ”Islam adalah solusi” dalam berdemokrasi.
Eksperimen ”Islam adalah solusi” adalah fase utopia-ideologis sebelum terjadi pencerahan intelektual dan kultural yang masif serta radikal di Timur Tengah. Masyarakat Arab perlu menjalankan Islamisme dalam suatu iklim demokratis agar mereka dapat menilai dan menjadikannya acuan dalam pemilu.
Prasangka bahwa kalangan Islamis akan membajak demokrasi lalu menegakkan otoritarianisme berwajah baru memang beralasan. Misalnya, Wakil Ketua Partai Kebebasan dan Keadilan Mesir Essam El-Arian mengatakan, dia tak bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal demi berdemokrasi. Karena itu, ketentuan-ketentuan normatif Islam seperti soal jilbab bisa saja diagendakan ketika mereka berkuasa. Maka, Mesir pasca-Mubarak bisa jadi akan bertranformasi dari ”negara otoriter semi-liberal” menuju ”negara demokrasi illiberal” dalam formulasi Fareed Zakaria.
Otoritarianisme semi-liberal dan demokrasi illiberal, kata Muktaz Billah—dosen ilmu politik di Universitas Michigan, AS—sebenarnya sama-sama melanggar hak asasi manusia.
Otoritarianisme semi-liberal mengakui hak-hak dasar dan kebebasan primordial individu, tetapi hal itu dapat diabaikan jika dianggap mengganggu stabilitas politik atau mengancam eksistensi rezim. Itulah yang terjadi pada masa Hosni Mubarak.