Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Said Aqil: Peluru Itu Dibeli Pakai Uang Rakyat

Kompas.com - 27/12/2011, 17:11 WIB
Ary Wibowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengecam langkah represif aparat kepolisian dalam insiden di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengatakan, polisi seharusnya dapat bertindak secara profesional dalam melakukan aksi pembubaran tersebut.

"Dan saya udah katakan berulang kali, peluru (polisi) itu dibeli pakai uang rakyat, seharusnya jangan buat menembaki rakyat. Kalau nembak burung dan kalong, ya, tidak apa-apa, tapi kok ini malah nembak rakyat," ujar Said di Jakarta, Selasa (27/12/2011).

Insiden bentrok di Bima berawal dari upaya aparat keamanan membubarkan aksi unjuk rasa warga yang memblokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, Bima, Sabtu (24/12/2011). Akibatnya, terjadi bentrokan yang menyebabkan tiga orang tewas serta lainnya luka-luka. Adapun korban tewas adalah Arief Rahman (19), Arifudin Arrahman, dan Syaiful (17).

Mereka tewas setelah diterjang peluru yang diyakini berasal dari pihak aparat keamanan yang terdiri atas 250 personel Kepolisian Resor Kota Bima, 60 personel gabungan intel dan Bareskrim, serta 60 personel Brimob Polda NTB.

Menurut Said Aqil, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Timur Pradopo harus menindak tegas aparat-aparatnya yang melakukan penembakan tersebut. Ia menilai, Kapolri seharusnya dapat belajar dari berbagai peristiwa kekerasan antara warga dan aparatnya yang terus terjadi hingga memakan korban jiwa.

"Jadi cukuplah, ini yang terakhir. Sudah cukup. Profesional kepolisian harus ditingkatkan dan hukuman harus dipertegas agar tidak terulang lagi hal-hal seperti ini," kata Said Aqil.

Sebelumnya, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basara mengatakan, Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo dinilai layak untuk diganti jika melihat kinerjanya selama memimpin Polri. Melihat beratnya tantangan Polri ke depan, tetap mempertahankan Timur dianggap dapat membahayakan posisi Polri.

"Agar hal itu tidak terjadi (tuntutan perubahan posisi Polri), Presiden harus segera mengganti Kapolri Timur Pradopo dengan jenderal polisi lain yang lebih memiliki sense of crisis dan visioner," kata Ahmad.

Ahmad menilai, dalam penanganan sengketa lahan di sejumlah tempat, Polri selalu terjebak pada satu fungsinya, yakni penegakan hukum. Menurut dia, Polri enggan melihat apakah surat keputusan para pejabat yang berwenang sudah sesuai dengan undang-undang dan memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak.

"Polri sering terjebak pada praktik negosiasi penyelesaian sengketa lahan dengan kompensasi yang menguntungkan pejabat-pejabat Polri. Hal itulah yang membuat Polri acap kali tersandera kepentingan perusahaan ketika menghadapi sengketa lahan dengan masyarakat," ujar Ahmad.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com