JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana mengatakan, kebijakan pengetatan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus korupsi, narkoba, dan terorisme yang diambil Kementerian Hukum dan HAM dapat dipertanggungjawabkan. Kebijakan ini juga memiliki dasar hukum, yaitu, PP Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
"Ini kebijakan yang secara aturan bisa dipertanggungjawabkan," kata Denny kepada para wartawan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (14/12/2011).
Terkait rencana Komisi III DPR RI yang akan menggunakan hak interpelasi atau meminta keterangan pemerintah mengenai kebijakan tersebut, Denny tak khawatir. Ia justru mempertanyakan mengapa para anggota Komisi III DPR hanya mengkritisi pengetatan remisi terhadap koruptor. Padahal, kebijakan tersebut juga berlaku bagi pelaku kejahatan yang berkaitan dengan narkoba dan terorisme.
Mantan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM, dan Pemberantasan KKN ini mengatakan, kebijakan pengetatan ini sesuai dengan aspirasi publik. Ia mengungkapkan, khusus pembebasan bersyarat, hal tersebut kerap bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Denny menggarisbawahi, adanya aspirasi publik agar remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat bagi koruptor dapat diketatkan. Indonesia Corruption Watch, misalnya, meminta Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin harus mempertahankan kebijakannya terkait pengetatan remisi asimilasi, dan bebas bersyarat. Pasalnya, kebijakan itu dinilai untuk kepentingan yang lebih besar.
"Itu harus tetap dijalankan karena ini tuntutan publik. Hukum bisa diabaikan demi kepentingan publik yang luas," kata Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo.
Adnan menilai, para anggota Komisi III DPR hanya mencari-cari alasan hingga mengaitkan ke masalah teknis untuk memperjuangkan kepentingan partai. Padahal, ucapnya, Komisi III kerap diam terhadap kebijakan pemerintah yang melanggar peraturan.
"Ada hukum, ada keadilan. Sekarang apakah kita hanya berhenti pada hukum dalam teks saja atau kita beranjak pada hukum yang memberikan keadilan. Kalau kita bicara undang-undang, semua memang produk rezim penguasa yang tidak bisa diharapkan untuk upaya pemberantasan korupsi yang efektif. Persoalannya, kita terjebak pada persoalan teknis," kata dia.
"Kalau bicara hukum, pertanyaannya apakah Komisi III mau mengubah undang-undang yang berhubungan dengan itu (pemberian remisi)? Kan enggak mau. Mereka tetap pada posisi harus ada remisi," tambah Adnan.
Ke depannya, lanjut Adnan, bukan hanya dengan kebijakan Kemenkumham untuk membuat jera para koruptor. KPK juga harus membantu dengan menuntut maksimal para terdakwa.
"Misalnya (ancaman) maksimal 12 tahun. Yah dituntut 12 tahun," katanya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.