Dalam batas itu, tidak beralasan jika dikatakan demokrasi dan demokratisasi menjadi ”biang” gerakan radikal-fundamentalis. Yang patut dipersoalkan adalah sejauh mana demokrasi dan demokratisasi dihidupkan untuk melahirkan situasi epistemik? Dengan kata lain, lahirnya gerakan radikal-fundamentalis harus menjadi titik tolak untuk mengukur kadar demokrasi dan demokratisasi di tengah masyarakat plural dan modern.
Selepas tumbangnya rezim totaliter–represif Soeharto, Indonesia menjadi semacam ruang lebar dengan terbukanya sekat-sekat partisipasi politik publik. Arena politik semakin luas dengan undang-undang otonomi daerah, multipartai, kebebasan mengutarakan pendapat, dan tumbuhnya pelbagai organisasi politik lokal ataupun nasional.
Reformasi telah meruangkan politik Indonesia sebagai domain publik, atau yang oleh Habermas disebut public sphere (ruang publik), untuk membangun komunikasi politik antara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan publik. Ruang publik sebagai buah reformasi ini menandai bangkitnya suatu masa dalam sejarah Indonesia ketika individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apa pun menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha memengaruhi praktik-praktik politik.
Namun, menjadi pertanyaan, apakah tersedianya ruang publik politis itu sudah cukup menjamin bergulirnya demokrasi dan demokratisasi secara benar di Indonesia? Apakah komunikasi politik antarwarga cukup meredam kepentingan subyektif, primordialisme, intimidasi, manipulasi, dan tindakan anarkistis?
Dalam konteks masyarakat plural, kelahiran ruang publik dan diskursus politis ini memungkinkan proses terbentuknya identitas kolektif sebagai bangsa yang senasib dan sepenanggungan. Namun, proses ini bisa berbuah sejauh ruang publik politis sungguh-sungguh disokong oleh rasionalitas dan bisa menjadi ruang hidup yang rasional (rationalized lifeworld).
Ruang hidup rasional membangkitkan suatu budaya politik yang beradab yang dapat menghasilkan identitas-identitas kolektif demokratis baru. Lebih dari itu, ruang publik yang demikian bisa menghadirkan politik sebagai proses internalisasi etika para warga untuk membangun kolektivitas lintas batas (agama, partai, suku, dan sebagainya).
Pelbagai gerakan fundamentalis-radikal yang terjadi di Bumi Pertiwi bukti bahwa belum muncul ruang hidup yang rasional ini dalam demokratisasi. Jika alur triadik ruang publik, diskursus, dan rasionalitas) sungguh hidup, demokrasi bukan tak mungkin menjadi daya de-radikalisasi pelbagai entitas sosial-politik di negara ini. Ini tak mudah dan butuh waktu. Tidak berarti demokrasi adalah biang radikalisme.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.