Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokrasi dan Deradikalisasi

Kompas.com - 22/10/2011, 02:10 WIB

Charles Beraf

Apakah demokrasi memicu lahirnya radikalisme?

Bukankah sebaliknya, demokratisasi memungkinkan semakin terbukanya kanal-kanal komunikasi politik, bertumbuhnya toleransi terhadap perbedaan: partai, agama, suku, ras?

Tulisan Donny Gahral Adian, ”Demokrasi dan Radikalisme” (Kompas, 7/10/11) di harian ini, menyentakkan suatu penilaian yang pesimistis, simplistis, dan terlampau negatif terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Benarkah demokrasi menjadi peluang bagi kelompok radikal untuk membangun militansi?

Fundamentalisme

Pasca-Perang Dunia II, radikalisme menjadi topik perdebatan hangat di kalangan ilmuwan dan para filsuf. Di satu sisi, fundamentalisme yang berujung kekerasan dipandang sebagai akibat dari modernitas. Sosiolog Max Weber yang mewakili sisi ini menilai modernitas juga sesungguhnya menjadi dapur gerakan radikal-fundamentalis.

Dengan modernitas, ideal akan harmoni kosmik hilang dan dunia hanya berupa obyek eksternal yang bisa dipakai untuk tujuan-tujuan utilitaristis. Tak mengherankan jika di tengah derap modernitas, jalan kekerasan ditempuh dan dibangkitkan.

Di lain sisi, sebagai antitesis Weber, filsuf Juergen Habermas melihat pelbagai gerakan fundamentalis-radikal lebih sebagai bukti ”kegagalan” untuk masuk komunitas plural dan modern. Menurut Habermas, setiap agama atau kelompok spiritual tertentu, pasti bersifat dogmatis dalam ajarannya dan karena itu, membutuhkan otoritas berwenang untuk menafsir sekaligus menetapkan mana yang ortodoks (legal) dan yang bukan.

Di tengah masyarakat yang plural dan modern, ortodoksi seperti itu bisa berbuah fundamentalisme jika situasi epistemik masyarakat plural dan modern diabaikan. Situasi epistemik yang dimaksudkan Habermas adalah bagaimana setiap kelompok bisa merelativisasikan posisinya vis a vis di antara kelompok lain tanpa merelativisasikan dogmanya sendiri (Borradori, 2003:105).

Situasi epistemik ini dimungkinkan dalam konteks komunitas demokratis yang meniscayakan kesetaraan hak setiap warga atau kelompok. Dalam komunitas demokratis, setiap warga atau kelompok saling memberi hak-hak yang setara itu. Tak ada seorang atau kelompok memiliki privilese. Dalam komunitas demokratis, setiap kelompok disanggupkan untuk saling menghargai dan membangun toleransi.

Dalam batas itu, tidak beralasan jika dikatakan demokrasi dan demokratisasi menjadi ”biang” gerakan radikal-fundamentalis. Yang patut dipersoalkan adalah sejauh mana demokrasi dan demokratisasi dihidupkan untuk melahirkan situasi epistemik? Dengan kata lain, lahirnya gerakan radikal-fundamentalis harus menjadi titik tolak untuk mengukur kadar demokrasi dan demokratisasi di tengah masyarakat plural dan modern.

Ruang tanpa sekat

Selepas tumbangnya rezim totaliter–represif Soeharto, Indonesia menjadi semacam ruang lebar dengan terbukanya sekat-sekat partisipasi politik publik. Arena politik semakin luas dengan undang-undang otonomi daerah, multipartai, kebebasan mengutarakan pendapat, dan tumbuhnya pelbagai organisasi politik lokal ataupun nasional.

Reformasi telah meruangkan politik Indonesia sebagai domain publik, atau yang oleh Habermas disebut public sphere (ruang publik), untuk membangun komunikasi politik antara eksekutif, legislatif, yudikatif, dan publik. Ruang publik sebagai buah reformasi ini menandai bangkitnya suatu masa dalam sejarah Indonesia ketika individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apa pun menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha memengaruhi praktik-praktik politik.

Namun, menjadi pertanyaan, apakah tersedianya ruang publik politis itu sudah cukup menjamin bergulirnya demokrasi dan demokratisasi secara benar di Indonesia? Apakah komunikasi politik antarwarga cukup meredam kepentingan subyektif, primordialisme, intimidasi, manipulasi, dan tindakan anarkistis?

Dalam konteks masyarakat plural, kelahiran ruang publik dan diskursus politis ini memungkinkan proses terbentuknya identitas kolektif sebagai bangsa yang senasib dan sepenanggungan. Namun, proses ini bisa berbuah sejauh ruang publik politis sungguh-sungguh disokong oleh rasionalitas dan bisa menjadi ruang hidup yang rasional (rationalized lifeworld).

Ruang hidup rasional membangkitkan suatu budaya politik yang beradab yang dapat menghasilkan identitas-identitas kolektif demokratis baru. Lebih dari itu, ruang publik yang demikian bisa menghadirkan politik sebagai proses internalisasi etika para warga untuk membangun kolektivitas lintas batas (agama, partai, suku, dan sebagainya).

Pelbagai gerakan fundamentalis-radikal yang terjadi di Bumi Pertiwi bukti bahwa belum muncul ruang hidup yang rasional ini dalam demokratisasi. Jika alur triadik ruang publik, diskursus, dan rasionalitas) sungguh hidup, demokrasi bukan tak mungkin menjadi daya de-radikalisasi pelbagai entitas sosial-politik di negara ini. Ini tak mudah dan butuh waktu. Tidak berarti demokrasi adalah biang radikalisme.

Charles Beraf Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero; Pendiri Komunitas Baca dan Sastra Lamalera; Dosen Universitas Flores–Ende

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com