Bukankah sebaliknya, demokratisasi memungkinkan semakin terbukanya kanal-kanal komunikasi politik, bertumbuhnya toleransi terhadap perbedaan: partai, agama, suku, ras?
Tulisan Donny Gahral Adian, ”Demokrasi dan Radikalisme” (Kompas, 7/10/11) di harian ini, menyentakkan suatu penilaian yang pesimistis, simplistis, dan terlampau negatif terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Benarkah demokrasi menjadi peluang bagi kelompok radikal untuk membangun militansi?
Pasca-Perang Dunia II, radikalisme menjadi topik perdebatan hangat di kalangan ilmuwan dan para filsuf. Di satu sisi, fundamentalisme yang berujung kekerasan dipandang sebagai akibat dari modernitas. Sosiolog Max Weber yang mewakili sisi ini menilai modernitas juga sesungguhnya menjadi dapur gerakan radikal-fundamentalis.
Dengan modernitas, ideal akan harmoni kosmik hilang dan dunia hanya berupa obyek eksternal yang bisa dipakai untuk tujuan-tujuan utilitaristis. Tak mengherankan jika di tengah derap modernitas, jalan kekerasan ditempuh dan dibangkitkan.
Di lain sisi, sebagai antitesis Weber, filsuf Juergen Habermas melihat pelbagai gerakan fundamentalis-radikal lebih sebagai bukti ”kegagalan” untuk masuk komunitas plural dan modern. Menurut Habermas, setiap agama atau kelompok spiritual tertentu, pasti bersifat dogmatis dalam ajarannya dan karena itu, membutuhkan otoritas berwenang untuk menafsir sekaligus menetapkan mana yang ortodoks (legal) dan yang bukan.
Di tengah masyarakat yang plural dan modern, ortodoksi seperti itu bisa berbuah fundamentalisme jika situasi epistemik masyarakat plural dan modern diabaikan. Situasi epistemik yang dimaksudkan Habermas adalah bagaimana setiap kelompok bisa merelativisasikan posisinya vis a vis di antara kelompok lain tanpa merelativisasikan dogmanya sendiri (Borradori, 2003:105).
Situasi epistemik ini dimungkinkan dalam konteks komunitas demokratis yang meniscayakan kesetaraan hak setiap warga atau kelompok. Dalam komunitas demokratis, setiap warga atau kelompok saling memberi hak-hak yang setara itu. Tak ada seorang atau kelompok memiliki privilese. Dalam komunitas demokratis, setiap kelompok disanggupkan untuk saling menghargai dan membangun toleransi.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.