JAKARTA, KOMPAS.com — Keputusan Komite Etik dinilai cenderung berhasrat untuk menyelamatkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak bersikap tegas terhadap semua bentuk pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan komisi itu. Padahal, sekecil apa pun pelanggaran etik semestinya diberi sanksi demi menjaga integritas lembaga tersebut.
Penilaian itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi untuk menanggapi kesimpulan Komite Etik KPK yang antara lain menyatakan bahwa Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Haryono Umar tidak bersalah meski ada tiga dari tujuh hakim yang memberikan pendapat berbeda, Rabu kemarin.
"Keputusan Komite Etik telah menciptakan preseden buruk bagi KPK pada masa mendatang karena pertemuan pimpinan lembaga itu dengan sejumlah pihak, termasuk petinggi partai politik yang kadernya diduga bermasalah, dianggap bukan pelanggaran," katanya.
Sebagaimana diberitakan, Komite Etik KPK memutuskan bahwa Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekjen KPK Bambang Praptono Sunu telah melanggar etika ringan. Adapun Chandra M Hamzah dan Haryono Umar dianggap tidak bersalah.
Hendardi mengungkapkan, sebagaimana keterangan petinggi Demokrat yang diperiksa, Chandra telah bertemu dengan M Nazaruddin. Namun, hal itu justru diabaikan oleh Komite Etik, bahkan dianggap bukan pelanggaran etik. Chandra hanya dinasihati agar berhati-hati. Hal serupa juga diterapkan kepada Haryono Umar.
Padahal, Pasal 36 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, "Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun."
Dalam Pasal 65 undang-undang itu disebutkan, setiap anggota KPK yang melanggar Pasal 36 di atas, dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. "Artinya, dalam konstruksi Undang-Undang KPK, 'pertemuan' semacam itu adalah tindak pidana. Perlu diingat, perkara korupsi tidak selalu menyangkut diri pihak yang bertemu, tetapi dapat berarti membicarakan dan dealing perkara yang melilit kader-kader partainya," katanya.
Dengan begitu, Hendardi menilai, produk Komite Etik KPK justru bisa menciptakan preseden buruk bagi penguatan integritas KPK. Para pimpinan KPK dianggap sah untuk bertemu dengan pihak-pihak, termasuk petinggi partai politik yang kader-kadernya diduga terlibat perkara korupsi.
"Komite Etik, yang sejak awal diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik pada KPK, justru semakin memperkuat dugaan publik bahwa Komite Etik hanya ditujukan untuk 'menyelamatkan' pimpinan KPK dengan semangat kolektivisme," katanya.
Pembiaran pelanggaran etik tanpa pertanggungjawaban, kecuali nasihat untuk berhati-hati, kata Hendardi, menunjukkan bahwa kerja Komite Etik tak lebih dari sekadar "binatu" bagi sejumlah pimpinan KPK yang diduga melanggar kode etik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.