Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komite Etik Selamatkan Pimpinan KPK?

Kompas.com - 06/10/2011, 13:26 WIB
Ilham Khoiri

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com Keputusan Komite Etik dinilai cenderung berhasrat untuk menyelamatkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tidak bersikap tegas terhadap semua bentuk pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan komisi itu. Padahal, sekecil apa pun pelanggaran etik semestinya diberi sanksi demi menjaga integritas lembaga tersebut.

Penilaian itu disampaikan Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi untuk menanggapi kesimpulan Komite Etik KPK yang antara lain menyatakan bahwa Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah dan Haryono Umar tidak bersalah meski ada tiga dari tujuh hakim yang memberikan pendapat berbeda, Rabu kemarin.

"Keputusan Komite Etik telah menciptakan preseden buruk bagi KPK pada masa mendatang karena pertemuan pimpinan lembaga itu dengan sejumlah pihak, termasuk petinggi partai politik yang kadernya diduga bermasalah, dianggap bukan pelanggaran," katanya.

Sebagaimana diberitakan, Komite Etik KPK memutuskan bahwa Deputi Penindakan KPK Ade Rahardja dan Sekjen KPK Bambang Praptono Sunu telah melanggar etika ringan. Adapun Chandra M Hamzah dan Haryono Umar dianggap tidak bersalah.

Hendardi mengungkapkan, sebagaimana keterangan petinggi Demokrat yang diperiksa, Chandra telah bertemu dengan M Nazaruddin. Namun, hal itu justru diabaikan oleh Komite Etik, bahkan dianggap bukan pelanggaran etik. Chandra hanya dinasihati agar berhati-hati. Hal serupa juga diterapkan kepada Haryono Umar.

Padahal, Pasal 36 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyebutkan, "Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun."

Dalam Pasal 65 undang-undang itu disebutkan, setiap anggota KPK yang melanggar Pasal 36 di atas, dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. "Artinya, dalam konstruksi Undang-Undang KPK, 'pertemuan' semacam itu adalah tindak pidana. Perlu diingat, perkara korupsi tidak selalu menyangkut diri pihak yang bertemu, tetapi dapat berarti membicarakan dan dealing perkara yang melilit kader-kader partainya," katanya.

Dengan begitu, Hendardi menilai, produk Komite Etik KPK justru bisa menciptakan preseden buruk bagi penguatan integritas KPK. Para pimpinan KPK dianggap sah untuk bertemu dengan pihak-pihak, termasuk petinggi partai politik yang kader-kadernya diduga terlibat perkara korupsi.

"Komite Etik, yang sejak awal diharapkan mampu memulihkan kepercayaan publik pada KPK, justru semakin memperkuat dugaan publik bahwa Komite Etik hanya ditujukan untuk 'menyelamatkan' pimpinan KPK dengan semangat kolektivisme," katanya.

Pembiaran pelanggaran etik tanpa pertanggungjawaban, kecuali nasihat untuk berhati-hati, kata Hendardi, menunjukkan bahwa kerja Komite Etik tak lebih dari sekadar "binatu" bagi sejumlah pimpinan KPK yang diduga melanggar kode etik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

    Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Bukan Politik Akomodatif

    Nasional
    Pakar Ungkap 'Gerilya' Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

    Pakar Ungkap "Gerilya" Wacana Tambah Kementerian Cukup Gencar

    Nasional
    Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

    Daftar Kepala BIN dari Masa ke Masa, Zulkifli Lubis hingga Budi Gunawan

    Nasional
    Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

    Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

    Nasional
    Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

    Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

    Nasional
    'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

    "Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

    Nasional
    Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

    Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

    Nasional
    PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

    PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

    Nasional
    Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

    Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

    Nasional
    Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

    Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

    Nasional
    Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

    Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

    Nasional
    Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

    Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

    Nasional
    KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

    KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

    Nasional
    TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

    TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

    Nasional
    Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

    Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com