JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, sedang didera masalah yang hampir mirip. Keduanya dikait-kaitkan dengan kasus korupsi yang melibatkan orang-orang terdekat mereka.
Baik Anas dan Muhaimin juga memiliki kemiripan latar belakang. Keduanya pernah memimpin organisasi kemahasiswaan berbasis Islam. Anas pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam, Muhaimin pernah menjadi Ketua Umum Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.
Anas dikaitkan dengan kasus korupsi mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, yang saat ini ditetapkan sebagai tersangka kasus suap ke sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharram terkait pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring Palembang.
Muhaimin yang juga Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dikaitkan dengan kasus suap menyuap dua pejabat di kementerian itu, terkait pencairan Dana Percepatan Infrastruktur Daerah (DPID) transmigrasi.
Namun saat ni keduanya masih sama-sama aman di posisinya. Anas tetap menjadi Ketua Umum Partai Demokrat, Muhaimin masih memimpin Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Mengapa keduanya masih sulit didongkel? Menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat La Ode Ida, basis dan jaringan Anas serta Muhaimin sebagai bekas pemimpin organisasi mahasiswa yang cukup besar di negeri ini, masih tersisa. "Mereka masih punya jaringan ke atas dan ke bawah," kata La Ode di Jakarta, Selasa (13/09/2011).
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meskipun merupakan atasan keduanya, baik secara politik maupun pemerintahan, menurut La Ode tetap sulit mendongkelnya.
La Ode menyatakan, Presiden Yudhoyono khawatir akan ada reaksi besar-besaran dari kalangan elit di atas maupun bawah, yang menjadi basis dan jaringan Anas maupun Muhaimin.
"Dengan begini, akan terus menerus terjadi reproduksi kebiasaan korupsi. Padahal keduanya dulu juga dikenal ikut menumbangkan rejim yang jahat sebelum reformasi. Sekarang kalau mereka melakukan kesalahan tak bisa divonis. Paling-paling yang memvonis hanya media, yang tak berarti apa-apa bagi pengambil kebijakan," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.