Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Singapura dan Koruptor Indonesia

Kompas.com - 22/07/2011, 06:56 WIB

Selain disebutkan di atas, alasan paling utama kenapa Singapura menjadi tempat pelarian favorit adalah karena hingga saat ini belum ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Karena itu, Indonesia tidak memiliki perpanjangan tangan masuk dalam wilayah yuridiksi negeri itu. Pemerintah Singapura tidak memiliki kewajiban untuk mengekstradisi para buron Indonesia yang bersembunyi di sana.

Pertanyaannya, kenapa tidak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura? Beberapa waktu lalu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pernah mengungkapkan, pemerintah Indonesia sudah lama mengupayakan perjanjian ini. Namun, upaya ini terganjal oleh syarat yang diajukan Singapura yang dipandang berat. Negeri kepala singa tersebut meminta wilayah.

"Sebetulnya, dulu sudah pernah dirintis membuat perjanjian dengan Singapura. Tapi, kita tidak mau menandatangani karena Singapura meminta satu daerah di tempat kita untuk dijadikan tempat pelatihan militer. Waktu itu DPR tidak setuju. Waktu itu saya jadi anggota DPR, jadi sekarang tidak bisa ditindaklanjuti," tutur Patrialis.

Menurutnya, permintaan Singapura ini tidak lazim. Sejumlah perjanjian esktradisi yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain di dunia tidak pernah ada yang mensyaratkan hal seperti itu.

"Sebetulnya ekstradisi enggak ada kaitannya dengan latihan militer dong. Di mana-mana, di seluruh dunia, enggak ada yang kayak begitu," ujar Patrialis.

Lebih baik mencegah

Cerita tentang para pelarian di atas seyogyianya membuat pemerintah berpikir untuk mencari terobosan pencegahan. Kalau para tersangka keburu kabur, penanganannya akan menjadi lebih rumit, dibutuhkan koordinasi antar lembaga lintas negara. Biaya yang harus dikeluarkan pun tidak kecil.

Hikmahanto menawarkan sebuah gagasan: uang jaminan. Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau statusnya masih terduga namun belum dicegah ke luar negeri harus membayar sejumlah uang dengan nilai nominal yang signifikan jika hendak melintasi batas imigrasi. Uang jaminan tersebut akan disita menjadi milik negara jika yang bersangkutan tidak juga kembali ke Indonesia dalam batas waktu yang ditentukan.

"Ini belum ada di aturan undang-undang. Ini bisa dibuat aturan itu sebagai terobosan. Kalau masih terduga, dia harus membayar sejumlah uang tertentu. Kalau misalnya jaminannya itu orang, istrinya, keluarganya, pengacaranya, tidak efektif, harus ada uang yang jumlahnya signifikan," paparnya.

Selain itu, terang dia, perlu ada pembenahan serius terkait koordinasi antar lembaga penegak hukum. Kelemahannya, masing-masing lembaga penegakkan hukum masih mementingkan ego sektoral. Mereka seolah enggan melibatkan lembaga lain dalam menyelesaikan kasus yang menjadi kewenangannya. "Tidak mau kerjasama. Harus dibangun kerjasama penegak hukum di Indonesia," ujar Hikmahanto.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Deretan Mobil Mewah yang Disita di Kasus Korupsi Timah, 7 di Antaranya Milik Harvey Moeis

Nasional
[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

[POPULER NASIONAL] PKS Sebut Surya Paloh Main Cantik di Politik | Ganjar-Mahfud Dapat Tugas Baru dari Megawati

Nasional
Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com