Selain disebutkan di atas, alasan paling utama kenapa Singapura menjadi tempat pelarian favorit adalah karena hingga saat ini belum ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Karena itu, Indonesia tidak memiliki perpanjangan tangan masuk dalam wilayah yuridiksi negeri itu. Pemerintah Singapura tidak memiliki kewajiban untuk mengekstradisi para buron Indonesia yang bersembunyi di sana.
Pertanyaannya, kenapa tidak ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura? Beberapa waktu lalu Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar pernah mengungkapkan, pemerintah Indonesia sudah lama mengupayakan perjanjian ini. Namun, upaya ini terganjal oleh syarat yang diajukan Singapura yang dipandang berat. Negeri kepala singa tersebut meminta wilayah.
"Sebetulnya, dulu sudah pernah dirintis membuat perjanjian dengan Singapura. Tapi, kita tidak mau menandatangani karena Singapura meminta satu daerah di tempat kita untuk dijadikan tempat pelatihan militer. Waktu itu DPR tidak setuju. Waktu itu saya jadi anggota DPR, jadi sekarang tidak bisa ditindaklanjuti," tutur Patrialis.
Menurutnya, permintaan Singapura ini tidak lazim. Sejumlah perjanjian esktradisi yang dibuat Pemerintah Indonesia dengan negara-negara lain di dunia tidak pernah ada yang mensyaratkan hal seperti itu.
"Sebetulnya ekstradisi enggak ada kaitannya dengan latihan militer dong. Di mana-mana, di seluruh dunia, enggak ada yang kayak begitu," ujar Patrialis.
Lebih baik mencegah
Cerita tentang para pelarian di atas seyogyianya membuat pemerintah berpikir untuk mencari terobosan pencegahan. Kalau para tersangka keburu kabur, penanganannya akan menjadi lebih rumit, dibutuhkan koordinasi antar lembaga lintas negara. Biaya yang harus dikeluarkan pun tidak kecil.
Hikmahanto menawarkan sebuah gagasan: uang jaminan. Mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau statusnya masih terduga namun belum dicegah ke luar negeri harus membayar sejumlah uang dengan nilai nominal yang signifikan jika hendak melintasi batas imigrasi. Uang jaminan tersebut akan disita menjadi milik negara jika yang bersangkutan tidak juga kembali ke Indonesia dalam batas waktu yang ditentukan.
"Ini belum ada di aturan undang-undang. Ini bisa dibuat aturan itu sebagai terobosan. Kalau masih terduga, dia harus membayar sejumlah uang tertentu. Kalau misalnya jaminannya itu orang, istrinya, keluarganya, pengacaranya, tidak efektif, harus ada uang yang jumlahnya signifikan," paparnya.
Selain itu, terang dia, perlu ada pembenahan serius terkait koordinasi antar lembaga penegak hukum. Kelemahannya, masing-masing lembaga penegakkan hukum masih mementingkan ego sektoral. Mereka seolah enggan melibatkan lembaga lain dalam menyelesaikan kasus yang menjadi kewenangannya. "Tidak mau kerjasama. Harus dibangun kerjasama penegak hukum di Indonesia," ujar Hikmahanto.