Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Biaya Politik Mahal, Politisi Rampok Uang Negara

Kompas.com - 04/06/2011, 18:53 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com Korupsi politik berawal dari politisi. Biaya politik yang mahal, terutama untuk pemilihan umum, memaksa para politisi melakukan berbagai cara termasuk korupsi.

Demikian disampaikan pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, dalam diskusi "Indonesiaku Dibelenggu Koruptor" di Warung Daun, Jakarta Selatan, Sabtu (4/6/2011).

"Korupsi politik awalnya dari politisi. Itu segalanya harus benar-benar diperhatikan. Biaya untuk jadi politisi ini semakin mahal. Ada yang menyatakan biayanya Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar untuk jadi anggota DPR. Ada juga yang menyatakan tidak kurang dari setengah miliar. Kemudian ada yang bilang, kalau rajin di lapangan (saat kampanye), maka biaya hanya ratusan juta. Ini yang memaksakan mereka untuk melakukan berbagai cara untuk memenuhi biaya politiknya," ujar Ikrar dalam diskusi itu.

Menurut Ikrar, seorang wakil ketua DPR pernah menuturkan kepadanya bahwa sering kali anggota DPR yang tidak memiliki bisnis, selain menjadi anggota dewan, melakukan upaya-upaya untuk korupsi. Namun, Ikrar tidak menyebut siapa wakil ketua DPR RI yang dimaksud.

"Saya pernah mendengar, sumbernya wakil ketua DPR RI. Katanya, 'Saya masih punya bisnis, jadi bisa membiayai biaya politik. Teman-teman yang enggak punya duit itulah yang lakukan (korupsi)'. Jadi, bukan mustahil terjadi korupsi, baik di lembaga pemerintahan maupun non-pemerintahan," ungkapnya.

Ketika menjadi politisi di Senayan, lanjut Ikrar, berbagai upaya untuk korupsi bisa saja dilakukan para anggota Dewan. Salah satunya dengan menyedot dana dari APBN, terutama untuk proyek atau tender tertentu.

"Anggaran paling banyak diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP). Di situ ada mark-up. Misalnya nilai Rp 300 miliar dinaikkan menjadi Rp 500 miliar. Sisanya, Rp 200 miliar, untuk mereka," paparnya.

Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menyatakan, korupsi biasanya juga dilakukan untuk proyek di daerah dengan kerja sama bersama pemerintah daerah (pemda).

Ia menuturkan, sebelum proyek dijalankan, pembagian jatah untuk anggota dewan yang terlibat sudah ditentukan terlebih dulu. Hal ini dilakukan agar tak terjadi konflik, baik di antara mereka maupun dengan pemain di daerah. Ia menyebut orang-orang tersebut sebagai mafia anggaran dalam Senayan.

Potensi korupsi lainnya, lanjut Ade, adalah penggunaan kewenangan dari politisi di DPR untuk menerima suap dalam pemilihan posisi pejabat tinggi tertentu. Ia langsung merujuk pada kasus dugaan suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom. Dalam kasus itu, sekitar 26 anggota Dewan periode 1999-2004 diduga mendapat cek pelawat yang totalnya mencapai Rp 24 miliar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Akrab dengan Puan di Bali, Jokowi: Sudah Lama Akrab dan Baik dengan Mbak Puan

Akrab dengan Puan di Bali, Jokowi: Sudah Lama Akrab dan Baik dengan Mbak Puan

Nasional
Jaksa: Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Kembalikan Uang Rp 40 Miliar dalam Kasus Korupsi BTS 4G

Jaksa: Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Kembalikan Uang Rp 40 Miliar dalam Kasus Korupsi BTS 4G

Nasional
WIKA Masuk Top 3 BUMN dengan Transaksi Terbesar di PaDi UMKM

WIKA Masuk Top 3 BUMN dengan Transaksi Terbesar di PaDi UMKM

Nasional
Nadiem Janji Batalkan Kenaikan UKT yang Nilainya Tak Masuk Akal

Nadiem Janji Batalkan Kenaikan UKT yang Nilainya Tak Masuk Akal

Nasional
KPK Periksa Mantan Istri Eks Dirut Taspen Antonius Kosasih

KPK Periksa Mantan Istri Eks Dirut Taspen Antonius Kosasih

Nasional
Bobby Resmi Gabung Gerindra, Jokowi: Sudah Dewasa, Tanggung Jawab Ada di Dia

Bobby Resmi Gabung Gerindra, Jokowi: Sudah Dewasa, Tanggung Jawab Ada di Dia

Nasional
Kapolri Diminta Tegakkan Aturan Terkait Wakapolda Aceh yang Akan Maju Pilkada

Kapolri Diminta Tegakkan Aturan Terkait Wakapolda Aceh yang Akan Maju Pilkada

Nasional
Jelaskan ke DPR soal Kenaikan UKT, Nadiem: Mahasiswa dari Keluarga Mampu Bayar Lebih Banyak

Jelaskan ke DPR soal Kenaikan UKT, Nadiem: Mahasiswa dari Keluarga Mampu Bayar Lebih Banyak

Nasional
Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Kasus BTS 4G, Eks Anggota BPK Achsanul Qosasi Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda Rp 500 Juta

Nasional
Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandang Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Kemensos Gelar Baksos di Sumba Timur, Sasar ODGJ, Penyandang Kusta dan Katarak, hingga Disabilitas

Nasional
Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku bagi Mahasiswa Baru

Nadiem Tegaskan Kenaikan UKT Hanya Berlaku bagi Mahasiswa Baru

Nasional
Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Eks Penyidik Sebut Nurul Ghufron Seharusnya Malu dan Mengundurkan Diri

Nasional
Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Jokowi dan Iriana Bagikan Makan Siang untuk Anak-anak Pengungsi Korban Banjir Bandang Sumbar

Nasional
Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Prabowo Beri Atensi Sektor Industri untuk Generasi Z yang Sulit Cari Kerja

Nasional
Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Komisi X Rapat Bareng Nadiem Makarim, Minta Kenaikan UKT Dibatalkan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com