Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila dalam Bahasa Perilaku

Kompas.com - 31/05/2011, 05:17 WIB

Hari Selasa (31/5) ini, sejumlah penyanyi dan pemain sinetron, seperti Reza Rahadian, Atiqah Hasiholan, Tompi, dan Edo Kondologit, akan tampil membacakan puisi dan narasi kebudayaan pada acara ”Pancasila Rumah Kita: A Tribute to Franky Sahilatua”. Acara yang diadakan Akar Indonesia bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, Green Music Foundation, dan Kalyana Shira ini digelar di Graha Bhakti Budaya, TIM.

Ini merupakan bentuk penghormatan untuk Franky sekaligus mengingatkan kembali idealismenya, Pancasila sebagai rumah kita. Acara ini menjadi aksi lanjutan untuk merespons kondisi semakin pudarnya kesadaran masyarakat atas multi- kulturalisme bangsa sekaligus pengingat atas kesepakatan berbangsa (Pancasila dan Sumpah Pemuda). Sesuatu yang oleh sebagian orang hendak ”dibelokkan”.

Pancasila, akhir-akhir ini, menjadi sorotan banyak kalangan. Mereka resah karena Pancasila, yang seharusnya menjadi dasar dan ideologi bangsa, semakin pudar. Makin banyak persoalan bangsa yang muncul karena lunturnya pemahaman terhadap nilai yang dikandung dalam Pancasila.

Tak kalah resah adalah mahasiswa. Sebagian dari mereka resah karena mata kuliah bermuatan Pancasila tak lagi diajarkan. Kondisi ini disimpulkan sebagai lunturnya nasionalisme bangsa. Sedangkan sebagian lain berpendapat, sebagai ideologi, Pancasila sudah tak relevan dengan kondisi bangsa dan perlu direvitalisasi.

Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Dimas Yanuar Langgeng, berpendapat, anak muda harus diperkenalkan dengan Pancasila karena Pancasila memiliki dimensi moral untuk menuju bangsa yang beradab. Nilai Pancasila harus dapat dicerna seluruh rakyat Indonesia.

”Karena pemahaman Pancasila dalam kehidupan masih terlalu abstrak. Hal ini berimbas pada masyarakat yang seolah tak punya ideologi lagi,” ujarnya.

Akibatnya, terjadi kekosongan ideologi bangsa. Tak mengherankan bila muncul paham baru yang menawarkan Indonesia lebih baik dengan meninggalkan nilai Pancasila, seperti gerakan Negara Islam Indonesia (NII).

Wiwit Mardianto, mahasiswa jurusan Dakwah, Prodi Bimbingan Konseling Islam STAIN Purwokerto, menuturkan, yang menjadi persoalan, Pancasila belum mampu diterjemahkan dalam bahasa perilaku. Pancasila masih berupa teks dalam pelajaran sekolah, sementara para guru pun hanya mengajarkan bagaimana menghafalkan butir-butir Pancasila.

”Padahal, Pancasila merupakan pintu masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai kemanusiaan, kerukunan dan toleransi umat beragama,” ungkapnya.

Maraknya kekerasan di Indonesia, baik berlatar belakang agama maupun etnis, lebih disebabkan kurang adanya pemahaman tentang Pancasila.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com