Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pancasila dalam Bahasa Perilaku

Kompas.com - 31/05/2011, 05:17 WIB

Pancasila rumah kita/ rumah untuk kita semua

Nilai dasar Indonesia/ rumah kita selamanya

Untuk semua puji nama-Nya/ untuk semua cinta sesama

Untuk semua keluarga menyatu/ untuk semua bersambung rasa

Untuk semua saling membagi

Pada setiap insan/ sama dapat sama rasa

O Indonesiaku/ o Indonesia

Penyanyi Glenn Fredly mengalunkan lagu ”Pancasila Rumah Kita” karya almarhum Franky Sahilatua di tengah konser ”Cinta Beta Maluku” di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Jumat (27/5) malam. Saat lagu memasuki bagian refrain, tangan kiri Glenn tetap memegang gitar, sedangkan tangan kanannya menunjukkan angka satu sampai lima pada setiap perpindahan kalimat.

”Untuk semua puji nama-Nya” sebagai sila pertama dan seterusnya. Lirik lagu ”Pancasila Rumah Kita” yang dilantunkan Glenn jelas ingin mengingatkan hadirin bahwa Pancasila selalu ada dan menjadi rumah kita di Indonesia.

Hari Selasa (31/5) ini, sejumlah penyanyi dan pemain sinetron, seperti Reza Rahadian, Atiqah Hasiholan, Tompi, dan Edo Kondologit, akan tampil membacakan puisi dan narasi kebudayaan pada acara ”Pancasila Rumah Kita: A Tribute to Franky Sahilatua”. Acara yang diadakan Akar Indonesia bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta, Green Music Foundation, dan Kalyana Shira ini digelar di Graha Bhakti Budaya, TIM.

Ini merupakan bentuk penghormatan untuk Franky sekaligus mengingatkan kembali idealismenya, Pancasila sebagai rumah kita. Acara ini menjadi aksi lanjutan untuk merespons kondisi semakin pudarnya kesadaran masyarakat atas multi- kulturalisme bangsa sekaligus pengingat atas kesepakatan berbangsa (Pancasila dan Sumpah Pemuda). Sesuatu yang oleh sebagian orang hendak ”dibelokkan”.

Pancasila, akhir-akhir ini, menjadi sorotan banyak kalangan. Mereka resah karena Pancasila, yang seharusnya menjadi dasar dan ideologi bangsa, semakin pudar. Makin banyak persoalan bangsa yang muncul karena lunturnya pemahaman terhadap nilai yang dikandung dalam Pancasila.

Tak kalah resah adalah mahasiswa. Sebagian dari mereka resah karena mata kuliah bermuatan Pancasila tak lagi diajarkan. Kondisi ini disimpulkan sebagai lunturnya nasionalisme bangsa. Sedangkan sebagian lain berpendapat, sebagai ideologi, Pancasila sudah tak relevan dengan kondisi bangsa dan perlu direvitalisasi.

Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Dimas Yanuar Langgeng, berpendapat, anak muda harus diperkenalkan dengan Pancasila karena Pancasila memiliki dimensi moral untuk menuju bangsa yang beradab. Nilai Pancasila harus dapat dicerna seluruh rakyat Indonesia.

”Karena pemahaman Pancasila dalam kehidupan masih terlalu abstrak. Hal ini berimbas pada masyarakat yang seolah tak punya ideologi lagi,” ujarnya.

Akibatnya, terjadi kekosongan ideologi bangsa. Tak mengherankan bila muncul paham baru yang menawarkan Indonesia lebih baik dengan meninggalkan nilai Pancasila, seperti gerakan Negara Islam Indonesia (NII).

Wiwit Mardianto, mahasiswa jurusan Dakwah, Prodi Bimbingan Konseling Islam STAIN Purwokerto, menuturkan, yang menjadi persoalan, Pancasila belum mampu diterjemahkan dalam bahasa perilaku. Pancasila masih berupa teks dalam pelajaran sekolah, sementara para guru pun hanya mengajarkan bagaimana menghafalkan butir-butir Pancasila.

”Padahal, Pancasila merupakan pintu masuk pelajaran tentang semangat nasionalisme, gotong royong, budi pekerti, nilai kemanusiaan, kerukunan dan toleransi umat beragama,” ungkapnya.

Maraknya kekerasan di Indonesia, baik berlatar belakang agama maupun etnis, lebih disebabkan kurang adanya pemahaman tentang Pancasila.

Oleh karena itu, tambah Wiwit, Pancasila bukan hanya penting untuk dipelajari, tapi harus mengakar pada kehidupan masyarakat sehingga Pancasila sebagai nilai keindonesiaan bukan hanya ”pepesan kosong”. Pancasila bisa menjadi jalan tengah untuk mengatasi permasalahan di Tanah Air.

Tantangan tersendiri

Budiman Sudjatmiko, anggota Komisi II DPR, beranggapan, generasi urban dan masyarakat kampus bukan apatis dan apriori terhadap Pancasila. Namun di tengah era reformasi, kemasan yang tidak mengikuti zaman, kerap dianggap orang tak relevan.

Bagaimanapun, hal itu menjadi tantangan tersendiri. Terlebih anak muda tak lagi puas dengan teori semata. ”Mereka meminta bukti, bukan janji verbal saja,” kata Budiman.

Berbeda dengan era Orde Baru, indoktrinasi Pancasila diberikan sejak anak usia sekolah. Pada era kini, cara tersebut tak relevan lagi karena mayoritas generasi urban tidak memercayai otoritas.

”Anak muda mungkin enggan mengucap poin-poin dalam Pancasila karena ini seperti simbol inkonsistensi,” ujarnya.

Maksud dia, kebanyakan pejabat mampu mengucapkan sila-sila dalam Pancasila dengan benar, tetapi perilaku sehari-hari mereka menunjukkan kebalikannya. Contohnya, ketiadaan rasa kemanusiaan, korupsi di level birokrasi, sampai pengusaha yang eksploitatif.

”Kepedulian generasi sekarang bukan formalitas, itu lebih bagus. Tugas kita untuk menyimpulkan bahwa mereka mengamalkan Pancasila,” papar Budiman.

Dia menganggap ”Pancasila Rumah Kita” sebagai lagu yang memberi inspirasi. Bahasa yang digunakan sederhana dan dekat dengan keseharian.

”Lagu itu contoh pengungkapan Pancasila dengan bahasa yang tidak konvensional,” tuturnya.

Dia mengingatkan, Pancasila merupakan dasar negara dengan nilai-nilai luhur. Dengan Pancasila, Indonesia memiliki nilai kemanusiaan secara universal.

Secara terpisah, Ketua Dewan Pemangku Kuliah Tjokroaminoto untuk Kebangsaan dan Demokrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Airlangga, Surabaya, Joko Susanto menilai, bertahun-tahun bangsa Indonesia memahami Pancasila sebatas indoktrinasi.

Sikap itu merupakan kesalahan. ”Sebab, yang kita butuhkan adalah Pancasila yang hidup bersama kita, mencernanya sebagai budaya,” tutur Joko.

Dia lalu mencontohkan, saat hidup ber-Pancasila, artinya masyarakat mampu hidup dalam keragaman. Dari sisi pemerintah, daripada hanya berbicara menggurui, lebih baik menunjukkan kemampuannya melindungi masyarakat dengan segala keragamannya.

Namun, yang berkembang kini malah reformasi pengabaian. Padahal anak muda adalah garda depan untuk mengembalikan Pancasila menjadi nilai bangsa.

”Salah satu solusi adalah menerapkan Pancasila sebagai strategi budaya dan mengajak generasi muda mereinterpretasi Pancasila dengan menggunakan cara mereka, misalnya lewat musik. Asalkan visinya sesuai (dengan Pancasila) tidak masalah,” ungkap Joko.

Mari mewujudkan Pancasila sebagai rumah kita semua.

(DWI AS SETIANINGSIH/ FABIOLA PONTO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com