Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Timur-Barat Seni Taman Tropis

Kompas.com - 07/05/2011, 02:36 WIB

Namanya mulai dikenal sebagai arsitek pertamanan ketika lima tahun tinggal di Bali dan menjalani beragam pekerjaan. Warwick Purser, yang saat itu pengusaha biro perjalanan, meminta Wijaya mendesain taman rumah ”C” di Batu Jimbar, Sanur, Bali.

Rumah itu dirancang Geoffrey Bawa, tokoh estetika asal Sri Lanka, yang menurut Wijaya, diakui dunia sebagai ”bapak” gaya arsitektur dan lanskap modern asia baru serta romantis tropis.

Saat itu Wijaya bersahabat dengan petani dari Desa Sidakarya, dekat Sanur, Ketut Marsa, yang kemudian menjadi mitranya. Keduanya membuat perusahaan dan bersama-sama mengerjakan taman rumah ”C”.

Dari orang Bali, Wijaya mengaku banyak belajar menjadi feodal, yang berguna saat mengerjakan proyek besar, sekaligus animistis, yang percaya suatu tempat memiliki roh. Selain itu, juga kemampuan mengamati, menyerap, dan mengadopsi sesuatu dari luar.

Dia juga belajar bekerja tuntas dari orang Bali, selain belajar banyak mengenai elemen taman yang terus bermanfaat dalam desainnya kemudian. Misalnya, tentang batu paras (saponite, soapstone) serta berjenis tanaman, seperti kembang sepatu, kamboja, dan akalifa.

Belajar dari banyak orang, banyak budaya, dan banyak tempat, dia akui merupakan modalnya berkembang dan terus berlangsung sampai kini.

Dalam karyanya, Wijaya menerapkan ciri puitis dan romantis, serta alami. Inspirasinya, antara lain taman-taman di Cotswolds, kota kecil dekat Oxford, Inggris, yang bergaya alami dan kemudian digabungkan dengan hasil belajarnya di berbagai tempat, termasuk arsitektur tradisional Asia Tenggara.

Dalam bukunya, Wijaya menyebut teman-temannya menjuluki karyanya sebagai ”alam teatrikal”. Julukan ”hutan tertata” dan ”menyeramkan” adalah dua istilah yang lazim digunakan menggambarkan karyanya. Tampaknya dia tak keberatan dengan berbagai komentar itu karena ”yang manis untuk seseorang merupakan racun bagi yang lain”.

Apa pun julukan itu, dia menekankan pentingnya seorang perancang taman tetap memerhatikan keseimbangan dengan tanaman, mencintai alam, dan belajar ”menciptakan” alam. Mengamati pertumbuhan tanaman dalam kondisi tanah dan pencahayaan berbeda merupakan separuh dari seni desain taman yang baik dalam iklim apa pun.

Keseimbangan menjadi kata kunci. Kelengkapan, keharmonisan dengan alam, lingkungan (keseimbangan antara buatan manusia dan alami) sebuah taman, sama nilainya dengan daya tarik teatrikal taman itu sendiri. Begitu tulis Wijaya dalam bukunya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com