Ninuk Mardiana Pambudy
Sentuhan tangan pria kelahiran Sydney, Australia, bernama asli Michael White ini tersebar di lebih dari 700 karya. Kebanyakan berupa taman untuk hotel, seperti Hotel Oberoi di Bali, Hyatt Regency di Surabaya, Amandari Ubud, Four Seasons Resort Bali, Santika Beach Bali, serta beberapa hotel di India dan Malaysia. Ia juga mengerjakan Naples Botanical Garden di Florida, Amerika Serikat; Eco Tourism Kaliyil, India; dan Taman Hiburan Rakyat di Kediri, Jawa Timur.
Banyak rumah pribadi juga mendapat sentuhan tangannya, di Jakarta, Bali, Singapura, Kuala Lumpur, India, termasuk rumah penyanyi David Bowie di Mustique, Hindia Barat.
”Saya selalu belajar dari orang lain,” kata Wijaya beberapa waktu lalu seusai peluncuran bukunya,
Wijaya menggunakan budaya sebagai referensi untuk menghindari karyanya terjebak menjadi dangkal. Bagi dia, penting mengenali taman dalam konteks budaya suatu masyarakat. Dia melihat tidak sedikit arsitek dan perancang taman akhirnya menjadi terlalu komersial, desain menjadi kaku, dekorasi berlebihan, atau karya hadir sebagai seni yang tidak alamiah.
”Jadinya Bali
Bagi Wijaya, taman bukan hanya kumpulan individu tanaman. Taman yang baik, apa pun gayanya, haruslah menunjang arsitektur atau lanskap latarnya, dan menciptakan kisah yang melibatkan elemen di dalamnya, seperti kolam, jalan setapak, aksentuasi, mebel taman, dan pencahayaan.
Pernah kuliah arsitektur di Sydney, Wijaya datang ke Bali tahun 1973. Awalnya ia berniat untuk berlibur, tetapi kemudian jatuh cinta pada pulau tersebut sepenuhnya dan menetap di Bali sampai kini.
Namanya mulai dikenal sebagai arsitek pertamanan ketika lima tahun tinggal di Bali dan menjalani beragam pekerjaan. Warwick Purser, yang saat itu pengusaha biro perjalanan, meminta Wijaya mendesain taman rumah ”C” di Batu Jimbar, Sanur, Bali.
Rumah itu dirancang Geoffrey Bawa, tokoh estetika asal Sri Lanka, yang menurut Wijaya, diakui dunia sebagai ”bapak” gaya arsitektur dan lanskap modern asia baru serta romantis tropis.
Saat itu Wijaya bersahabat dengan petani dari Desa Sidakarya, dekat Sanur, Ketut Marsa, yang kemudian menjadi mitranya. Keduanya membuat perusahaan dan bersama-sama mengerjakan taman rumah ”C”.
Dari orang Bali, Wijaya mengaku banyak belajar menjadi feodal, yang berguna saat mengerjakan proyek besar, sekaligus animistis, yang percaya suatu tempat memiliki roh. Selain itu, juga kemampuan mengamati, menyerap, dan mengadopsi sesuatu dari luar.
Dia juga belajar bekerja tuntas dari orang Bali, selain belajar banyak mengenai elemen taman yang terus bermanfaat dalam desainnya kemudian. Misalnya, tentang batu paras (
Belajar dari banyak orang, banyak budaya, dan banyak tempat, dia akui merupakan modalnya berkembang dan terus berlangsung sampai kini.
Dalam karyanya, Wijaya menerapkan ciri puitis dan romantis, serta alami. Inspirasinya, antara lain taman-taman di Cotswolds, kota kecil dekat Oxford, Inggris, yang bergaya alami dan kemudian digabungkan dengan hasil belajarnya di berbagai tempat, termasuk arsitektur tradisional Asia Tenggara.
Dalam bukunya, Wijaya menyebut teman-temannya menjuluki karyanya sebagai ”alam teatrikal”. Julukan ”hutan tertata” dan ”menyeramkan” adalah dua istilah yang lazim digunakan menggambarkan karyanya. Tampaknya dia tak keberatan dengan berbagai komentar itu karena ”yang manis untuk seseorang merupakan racun bagi yang lain”.
Apa pun julukan itu, dia menekankan pentingnya seorang perancang taman tetap memerhatikan keseimbangan dengan tanaman, mencintai alam, dan belajar ”menciptakan” alam. Mengamati pertumbuhan tanaman dalam kondisi tanah dan pencahayaan berbeda merupakan separuh dari seni desain taman yang baik dalam iklim apa pun.
Keseimbangan menjadi kata kunci. Kelengkapan, keharmonisan dengan alam, lingkungan (keseimbangan antara buatan manusia dan alami) sebuah taman, sama nilainya dengan daya tarik teatrikal taman itu sendiri. Begitu tulis Wijaya dalam bukunya.
Wijaya telah melakoni bermacam pekerjaan sebelum kemudian menjadi arsitek pertamanan. Dia pernah bekerja sebagai guru Bahasa Inggris, pelatih tenis, pemandu wisata, wartawan foto, hingga kontributor pada buku panduan.
Dalam kurun 1979-1981, masa awal kariernya, Wijaya dipercaya menggarap hampir semua taman dalam
Sebagai sosok yang ikut mewarnai jagat seni taman, Wijaya selalu mendorong generasi baru arsitek dan perancang taman untuk menilai taman tropis sebagai seni. Dia kerap melontarkan kritik terbuka terhadap aliran baru yang bergaya minimalis, tetapi menurut dia tidak menangkap esensi taman sebagai bagian budaya.
”Saya sedikit kontroversial, lidah cenderung agak tajam,” kata Wijaya. ”Saya mewarisi semua itu dari ibu saya (Mavis White),
Wijaya telah mencapai puncak-puncak pencariannya. Villa Bebek yang menjadi studio-rumah permanennya di Bali, dia sebut sebagai lahan pelatihan terakhir dalam menemukan museum seni taman.