Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Timur-Barat Seni Taman Tropis

Kompas.com - 07/05/2011, 02:36 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy

Nama Made Wijaya terdengar tak asing. Orang langsung dapat menebak pemilik nama itu pasti berasal dari Bali. Made Wijaya punya tempat khusus karena dia adalah salah seorang perancang taman tropis yang ikut memberi pengaruh dalam seni taman tropis dunia. Bali adalah tempat dia menyemai bakatnya.

Sentuhan tangan pria kelahiran Sydney, Australia, bernama asli Michael White ini tersebar di lebih dari 700 karya. Kebanyakan berupa taman untuk hotel, seperti Hotel Oberoi di Bali, Hyatt Regency di Surabaya, Amandari Ubud, Four Seasons Resort Bali, Santika Beach Bali, serta beberapa hotel di India dan Malaysia. Ia juga mengerjakan Naples Botanical Garden di Florida, Amerika Serikat; Eco Tourism Kaliyil, India; dan Taman Hiburan Rakyat di Kediri, Jawa Timur.

Banyak rumah pribadi juga mendapat sentuhan tangannya, di Jakarta, Bali, Singapura, Kuala Lumpur, India, termasuk rumah penyanyi David Bowie di Mustique, Hindia Barat.

”Saya selalu belajar dari orang lain,” kata Wijaya beberapa waktu lalu seusai peluncuran bukunya, Desain Taman Tropis, di Jakarta. Buku itu merupakan versi bahasa Indonesia dan diperbarui dari buku asli berjudul Tropical Garden Designs (1999).

Wijaya menggunakan budaya sebagai referensi untuk menghindari karyanya terjebak menjadi dangkal. Bagi dia, penting mengenali taman dalam konteks budaya suatu masyarakat. Dia melihat tidak sedikit arsitek dan perancang taman akhirnya menjadi terlalu komersial, desain menjadi kaku, dekorasi berlebihan, atau karya hadir sebagai seni yang tidak alamiah.

”Jadinya Bali style, gaya Bali, tetapi hanya menempel, tanpa perasaan,” katanya.

Bagi Wijaya, taman bukan hanya kumpulan individu tanaman. Taman yang baik, apa pun gayanya, haruslah menunjang arsitektur atau lanskap latarnya, dan menciptakan kisah yang melibatkan elemen di dalamnya, seperti kolam, jalan setapak, aksentuasi, mebel taman, dan pencahayaan.

Belajar dari Bali

Pernah kuliah arsitektur di Sydney, Wijaya datang ke Bali tahun 1973. Awalnya ia berniat untuk berlibur, tetapi kemudian jatuh cinta pada pulau tersebut sepenuhnya dan menetap di Bali sampai kini.

Namanya mulai dikenal sebagai arsitek pertamanan ketika lima tahun tinggal di Bali dan menjalani beragam pekerjaan. Warwick Purser, yang saat itu pengusaha biro perjalanan, meminta Wijaya mendesain taman rumah ”C” di Batu Jimbar, Sanur, Bali.

Rumah itu dirancang Geoffrey Bawa, tokoh estetika asal Sri Lanka, yang menurut Wijaya, diakui dunia sebagai ”bapak” gaya arsitektur dan lanskap modern asia baru serta romantis tropis.

Saat itu Wijaya bersahabat dengan petani dari Desa Sidakarya, dekat Sanur, Ketut Marsa, yang kemudian menjadi mitranya. Keduanya membuat perusahaan dan bersama-sama mengerjakan taman rumah ”C”.

Dari orang Bali, Wijaya mengaku banyak belajar menjadi feodal, yang berguna saat mengerjakan proyek besar, sekaligus animistis, yang percaya suatu tempat memiliki roh. Selain itu, juga kemampuan mengamati, menyerap, dan mengadopsi sesuatu dari luar.

Dia juga belajar bekerja tuntas dari orang Bali, selain belajar banyak mengenai elemen taman yang terus bermanfaat dalam desainnya kemudian. Misalnya, tentang batu paras (saponite, soapstone) serta berjenis tanaman, seperti kembang sepatu, kamboja, dan akalifa.

Belajar dari banyak orang, banyak budaya, dan banyak tempat, dia akui merupakan modalnya berkembang dan terus berlangsung sampai kini.

Dalam karyanya, Wijaya menerapkan ciri puitis dan romantis, serta alami. Inspirasinya, antara lain taman-taman di Cotswolds, kota kecil dekat Oxford, Inggris, yang bergaya alami dan kemudian digabungkan dengan hasil belajarnya di berbagai tempat, termasuk arsitektur tradisional Asia Tenggara.

Dalam bukunya, Wijaya menyebut teman-temannya menjuluki karyanya sebagai ”alam teatrikal”. Julukan ”hutan tertata” dan ”menyeramkan” adalah dua istilah yang lazim digunakan menggambarkan karyanya. Tampaknya dia tak keberatan dengan berbagai komentar itu karena ”yang manis untuk seseorang merupakan racun bagi yang lain”.

Apa pun julukan itu, dia menekankan pentingnya seorang perancang taman tetap memerhatikan keseimbangan dengan tanaman, mencintai alam, dan belajar ”menciptakan” alam. Mengamati pertumbuhan tanaman dalam kondisi tanah dan pencahayaan berbeda merupakan separuh dari seni desain taman yang baik dalam iklim apa pun.

Keseimbangan menjadi kata kunci. Kelengkapan, keharmonisan dengan alam, lingkungan (keseimbangan antara buatan manusia dan alami) sebuah taman, sama nilainya dengan daya tarik teatrikal taman itu sendiri. Begitu tulis Wijaya dalam bukunya.

Pencarian

Wijaya telah melakoni bermacam pekerjaan sebelum kemudian menjadi arsitek pertamanan. Dia pernah bekerja sebagai guru Bahasa Inggris, pelatih tenis, pemandu wisata, wartawan foto, hingga kontributor pada buku panduan.

Dalam kurun 1979-1981, masa awal kariernya, Wijaya dipercaya menggarap hampir semua taman dalam (courtyard) di kawasan Batu Jimbar. Proyek besar pertamanya—bersama Ketut Marsa, sahabatnya—adalah membuat taman untuk Hotel Oberoi, karya arsitek Peter Muller. Di taman yang dianggap sebagai bukti bakatnya, Wijaya sepenuhnya menggunakan tanaman lokal.

Sebagai sosok yang ikut mewarnai jagat seni taman, Wijaya selalu mendorong generasi baru arsitek dan perancang taman untuk menilai taman tropis sebagai seni. Dia kerap melontarkan kritik terbuka terhadap aliran baru yang bergaya minimalis, tetapi menurut dia tidak menangkap esensi taman sebagai bagian budaya.

”Saya sedikit kontroversial, lidah cenderung agak tajam,” kata Wijaya. ”Saya mewarisi semua itu dari ibu saya (Mavis White), green thumb and sharp tongue,” tambahnya.

Wijaya telah mencapai puncak-puncak pencariannya. Villa Bebek yang menjadi studio-rumah permanennya di Bali, dia sebut sebagai lahan pelatihan terakhir dalam menemukan museum seni taman. Desain Taman Tropis, demikian Wijaya, adalah penghormatan atas usainya pencarian museum seni yang hidup tersebut.

Made Wijaya

• Nama lain: Michael White • Lahir: Sydney, Australia, 22 Maret 1953 • Pekerjaan: - Arsitek dan perancang taman dengan 700-an karya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Timur Tengah, India, Hindia Barat, dan Amerika - Berkontribusi dalam Asian Tropical Style dan mengajar desain lanskap di National University of Singapore • Buku: Ia menulis 8 buku, antara lain ”The Complete Stranger in Paradise”, ”Architecture of Bali: A Source of Traditional and Modern Forms”, ”Modern Tropical Garden Design”, dan ”The Best of Stranger in Paradise”.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com