JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengkritik keberadaan lembaga donor asing di Indonesia yang mendapat perlakuan istimewa dari lembaga negara. Padahal, mereka menilai, bantuan yang diberikan lembaga donor tersebut tidak seberapa.
"Bahkan melebihi perlakuan yang mereka berikan kepada lembaga-lembaga sosial dalam negeri," ujar aktivis Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, dalam jumpa pers di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Senin (18/4/2011). Hadir pula dalam pernyataan sikap itu Forum Masyakarat Peduli Parlemen (Fomappi), Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia), dan Indonesia Budget Center (IBC).
Pernyataan ini disampaikan terkait keberadaan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, The United Nations Development Programme (UNDP), yang berkantor di kompleks DPR, Jakarta.
Menurut Ray, perlakuan DPR dan DPD yang menyediakan ruangan untuk UNDP tersebut menunjukkan seolah-olah mereka sangat berutang budi terhadap pihak pendonor. "Sehingga merasa berkewajiban memfasilitasi lembaga-lembaga ini," katanya.
Padahal, jelas dia, bantuan lembaga pendonor asing itu tidak berarti dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan keahlian instansi pemerintah. "Programnya hanya 30 persen, membangun infrastruktur (lembaga pendonor) yang 70 persen," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, mereka juga mengkritik lembaga donor lain seperti International Foundation of Electoral System (IFES) yang pernah berkantor di KPU. Pada Pemilu 2009, IFES mendanai dan menyiapkan perangkat teknologi perhitungan suara tabulasi nasional melalui pesan singkat atau SMS.
"Tragedi mandeknya perhitungan suara IT pada Pemilu 2009 versi IFES hingga saat ini belum dipertanggungjawabkan secara terbuka," ujar Ray.
Lebih jauh, ia mengatakan, bantuan SDM dari lembaga tersebut tidak jauh lebih baik dari kemampuan SDM dalam negeri. SDM dalam negeri, katanya, telah mampu menjadi ahli dalam bidang yang diakomodasi lembaga-lembaga pendonor tersebut, seperti bidang penataan demokrasi dan birokrasi, pemerintahan, perlindungan hak asasi manusia, toleransi, serta pluralisme.
Perwakilan TePI Indonesia, Jerry Sumampow, menambahkan, lembaga donor asing tidak sewajarnya mendapat fasilitas dari negara. "Karena mereka punya dana sendiri untuk fasilitasi kegiatan mereka di negara lain, apalagi yang berkaitan dengan kantor dan ruangan," katanya.
Sebastian Salang dari Fomappi mengatakan, bantuan berupa hibah dana dari lembaga donor asing memungkinkan terjadinya duplikasi anggaran. "Misalnya, anggaran penguatan kelembagaan sudah ada dari APBN. Jika lembaga internasional juga memberikan bantuan untuk kelembagaan, akan ada overlapping," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.