JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) meminta pemerintah mengevaluasi keberadaan lembaga-lembaga pendonor asing di Indonesia. Bantuan lembaga pendonor asing, khususnya di bidang sumber daya manusia dan keahlian tersebut, dinilai tidak signifikan lagi.
"SDM dan keahlian warga negara kita sanggup ke taraf keahlian yang dimiliki SDM lembaga asing tersebut, baik di bidang penataan demokrasi dan birokrasi, pemerintahan, perlindungan HAM, toleransi, dan pluralisme," ujar perwakilan LSM Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, dalam jumpa pers di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Senin (18/4/2011).
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Sebastian Salang mengatakan, penting bagi pemerintah untuk memperjelas jenis bantuan dana yang diberikan oleh lembaga-lembaga pendonor asing tersebut. Bantuan, menurutnya, harus dipertegas apakah merupakan hibah yang tidak perlu dikembalikan atau merupakan utang.
"Jangan sampai kesannya ingin bantu Indonesia, tapi dapat keuntungan karena statusnya utang. Ini membebani rakyat Indonesia," katanya.
Sejumlah LSM yang terdiri dari LIMA, Formappi, Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia), dan Indonesia Budget Center (IBC) itu juga meminta lembaga pemerintahan seperti kementerian dan DPR mencabut fasilitas yang diberikannya kepada lembaga-lembaga pendonor asing. "Jangan sampai pemerintah dituduh tidak berlaku adil terhadap warga negara sendiri yang begitu sulit mendapatkan fasilitas negara," lanjut Ray.
Perwakilan TePI Indonesia, Jerry Sumampow, mengatakan, lembaga-lembaga pendonor asing di Indonesia telah memiliki anggaran sendiri untuk memfasilitasi kegiatannya. "Apalagi yang berkaitan dengan kantor atau ruangan," kata Jerry.
Sebelumnya, keberadaan lembaga United Nations Development Programme (UNDP) di gedung DPR dan DPD dipertanyakan Ketua DPR Marzuki Alie. Diketahui bahwa UNDP berkantor di kompleks DPR sejak 2005. Menurut Ray, perlakuan parlemen yang memberikan fasilitas terhadap UNDP tersebut berlebihan. "Bahkan melebihi perlakuan mereka kepada lembaga dalam negeri," katanya.
Ray juga mengatakan, lembaga pendonor asing yang berkantor di gedung pemerintahan merupakan suatu hal yang lumrah. Bukan hanya di DPR, lembaga pendonor asing juga berkantor di sejumlah gedung pemerintahan seperti Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Dalam Negeri, dan di kantor-kantor pemerintah daerah. Oleh karena itu, mereka berharap agar pihak lembaga donor asing yang ada di Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa keberadaan mereka bukan untuk mencontohkan ketidakadilan di Indonesia.
"Organisasi sebesar mereka sejatinya dapat mendapatkan kantor dengan mudah. Alasan memperlancar kinerja tak dapat dijadikan dasar mendapat fasilitas negara," ucapnya.
"Kerja sama dengan pihak donor harus seimbang, sejajar, dan saling melengkapi. Lembaga donor sejatinya melihat kebutuhan rakyat Indonesia, bukan mendikte," tandas Ray.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.