Mereka, disebutnya one of the many. "Kalau diumpamakan dengan film Holywood, mereka ini seperti The Man With The Grey Flannelsuit."
Singkat kata, pemimpin sekarang bukan pemimpin. Di sisi lain, jurnalisme tidak merambat di ruang kosong.
Soekarno, Hatta, Syahrir, dan orang lain yang amat memberi inspirasi kepada rakyat dan mendorong pers dan wartawannya berlomba mengambil peran yang sejajar.
Dulu rumusannya jernih: kemerdekaan, pembebasan, keadilan sosial. "Maaf saja, SBY dan Jusuf Kalla tidak memberi inspirasi apa-apa," kata putra keempat Asisten Demang zaman Belanda, bernama Anwar gelar Maharadja Soetan di Kubang Nan Dua, Sumatera Barat itu. Tidak ada pemimpin sekarang yang bisa membawa masyarakat ke suatu tempat yang tinggi, ibarat Nabi Musa.
Jika peranan media massa tidak bisa mengubah keadaan, ini artinya ada gap antara elite politik dan media massa. Kalau elite politik dan pers tidak bisa bekerja sama, ini juga payah. Media massa akan terus bekerja menurut fungsinya. Membela rakyat terhadap penindasan, penjajahan, kekurangan ekonomi, dan sebagainya.
Dalam zaman globalisasi sekarang, pers harus terus mendidik masyarakat. Menunjukkan ke mana negara dan bangsa ini harus bergerak. "Dan pers juga mesti berani mengatakan, kamu ini sudah kebangetan. Ndak boleh pers diam saja."
Kalau elite politik itu tidak hirau, serahkan pada rakyat untuk memvonisnya pada Pemilu 2009. "Kita tunggu, apa vonis rakyat tahun 2009 nanti. Dan pers harus tunjukkan siapa dan apa yang mesti kita pilih nanti," kata Rosihan Anwar.
Namun, pada usia senjanya kini—10 Mei 2006 nanti dia persis berulang tahun ke-84—ia mengaku, tugas dan tujuan hidup cuma untuk menyenangkan setiap orang. "Tapi kalau saya sekarang jadi wartawan, apalagi menjadi pemimpin redaksi atau editor, saya mesti pikir bagaimana mencari strategi, bagaimana menyusun agenda supaya peranan pers tetap besar."
Menyimak naskah pidato pengukuhannya Wartawan Engkau Pahlawan Dalam Hatiku, kita menemukan sosok Rosihan Anwar tetaplah sebagai Rosihan sebagai jurnalis pers perjuangan. "Sekarang coba Anda lihat peringatan Soekarno waktu itu, kita tidak rela menjadikan Indonesia a nation of coolies, and a coolie among the nations."
Tapi ia juga tahu, wartawan bukanlah politisi. Ia harus tahu politik, tetapi ia tidak bermain politik praktis.