Meskipun Pemerintah Jepang melaporkan perkembangan penanganan dan kemungkinan kebocoran radiasi nuklir terus-menerus kepada warga Jepang serta masyarakat internasional, tetap ada pertanyaan apakah laporan tersebut menggambarkan semua aspek kecelakaan, terutama menyangkut keselamatan publik.
Pengawasan PLTN menjadi isu terus-menerus di Jepang. Seperti diberitakan kantor berita AFP, Perdana Menteri Naoto Kan sempat marah besar karena operator PLTN Fukushima, Tokyo Electric Power Company (Tepco), baru melaporkan terjadi kebakaran lagi di sana satu jam setelah kejadian pada Selasa (15/3).
Masalah dalam pelaporan data keselamatan dan inspeksi PLTN Fukushima sudah berulang kali terjadi sejak berdiri tahun 1971. Skandal terbesar terbuka tahun 2002. Dewan Keamanan Industri dan Nuklir Jepang (NISA) mengungkapkan, mereka menemukan 29 dugaan kasus Tepco menyembunyikan data retakan di beberapa reaktornya—sebagian besar di Fukushima. Pada pemeriksaan tahun 2003, kembali Tepco melanggar aturan keselamatan. Setelah itu, beberapa kali Fukushima mengalami tutup-buka operasi, termasuk karena gempa berkekuatan 7,2 skala Richter pada 14 Juni 2008.
Tepco, berdiri tahun 1951, adalah operator PLTN terbesar di Jepang dan memasok sepertiga listrik bertenaga nuklir negara itu, termasuk kota Tokyo. Dalam skala dunia, dia berada di posisi ketiga setelah E.ON dari Jerman, Electricite de France di Perancis, dan RWE di Jerman. Perusahaan ini, seperti dilaporkan Mark Gregory dalam BBC.com, sangat berpengalaman karena sudah mengoperasikan PLTN Fukushima sejak 1970.
Ketika NISA memeriksa Tepco pada 2002, Tepco mengakui ada 200 keadaan di mana informasi dipalsukan antara tahun 1997 hingga 2002. Lima tahun kemudian keluar pengakuan lebih lanjut tentang penyembunyian informasi menyangkut keselamatan reaktor.
Harapan pada nuklir sebagai pembangkit listrik sangat besar di tengah kekhawatiran menipisnya energi fosil dan pencemaran udara yang ditimbulkannya. Reaksi pembelahan inti atom yang menghasilkan panas tinggi menjadi andalan pembangkitan listrik melalui air yang dipanaskan menjadi uap. Proses itu tidak menghasilkan cemaran ke udara seperti bahan bakar fosil. Tetapi, karena reaksi nuklir menghasilkan zat radioaktif, pembangunan dan pengoperasiannya butuh kehati-hatian tinggi di segala lini.
”Yang terpenting, penentuan tapak. Pelajaran dari Fukushima, mengapa reaktor di Daiichi rusak sementara Onagawa yang lebih dekat ke pusat gempa, juga Daimi, tidak bernasib seperti Daiichi,” kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Hudi Hastowo di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Batan di Pasar Jumat, Jakarta, Senin (21/3). Apalagi Indonesia berada di kawasan rawan gempa vulkanik dan tektonik yang dapat berakibat tsunami.
Sejauh ini yang sudah disurvei menyeluruh adalah Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Kawasan ini dianggap cukup aman. Kalaupun terjadi gempa, itu tidak akan berkekuatan besar. Survei juga pernah dilakukan di Madura, tetapi, menurut Hastowo, dihentikan karena penolakan masyarakat setempat.