Setiap mengkritik pemerintah, bagaimana tanggapan keluarga?
Saya mempunyai istri dan saudara-saudara yang kerap tidak setuju. Bahkan, ada yang bilang kepada istri bahwa Sofjan kok tidak kapok-kapok. Apalagi, saya pernah menjadi buronan dan berulang kali berhadapan dengan aparat keamanan.
Bahkan, ada yang bilang, Sofjan sudahlah. Enjoy sajalah kehidupan ini. Nyonya (Riantini) juga sempat menangis ketika saya dikejar-kejar aparat kepolisian dan kejaksaan. Saya biasalah, keras kepala sehingga saya tetap bersuara lantang menyuarakan ketidakadilan.
Bagaimana bisa mengenal
Istri saya dulu juga seorang aktivis. Kami bertemu sama- sama sebagai aktivis dalam aksi- aksi massa. Saya sebenarnya sudah kenal istri saya sejak kecil. Kami sebenarnya sama-sama aktif dan bertemu dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Istri saya tinggal di asrama Santa Ursula, Jakarta. Saya tinggal di asrama Kanisius, Jakarta. Dia ikut masak-masak untuk konsumsi demonstran angkatan 1966.
Cinta tumbuh di lapangan?
Dia orang Padang juga. Kakaknya teman sekelas saya dahulu. Tahun 1966 itulah kami sering bertemu dalam aksi-aksi di lapangan.
Ketika berurusan dengan aparat keamanan, diperiksa, bagaimana kesan orangtua?
Orangtua kaget. Untungnya, mereka tidak banyak tahu apa yang diperbuat anak-anaknya karena mereka berada di Padang, Sumatera Barat. Waktu itu, kan, belum ada komunikasi seperti handphone. Paling-paling surat- menyurat saja. Itu pun belum tentu sebulan sekali kita tulis surat. Ha-ha-ha.
Bagaimana rasanya sewaktu ditahan di penjara zaman Bung Karno?