Begini, ya, saya melihat sekarang kita ini kalau bicara normatif-normatif tak bisa lagi kalau Anda tidak secara tajam memperlihatkan masalah-masalah. Supaya rakyat juga betul-betul mengerti apa yang kita tanya langsung (kepada pemerintah) berkenaan dengan kepentingan-kepentingan kita semua.
Jadi, saya itu memang sengaja. Saya pikir, dalam alam demokrasi sekarang, kita mesti membuat sesuatu yang lain juga untuk menyampaikan pesan Anda kepada siapa saja, termasuk kepada pemerintah kita saat ini.
Dalam perjalanan sebelumnya, bagaimana Anda menyampaikan hal ini?
Saat Bung Karno dulu, kan, situasinya lain. Kita masih muda. kita lebih banyak berteriak-teriak dan marah-marah dalam memperlihatkan masalah yang ada. Yang pertama karena inflasi begitu tingginya, kita mesti antre (beli bahan pokok) di mana-mana. Tetapi, pada saat itu, kan, kita belum banyak mengerti. Cuma berteriak apa (kebutuhan) yang sehari-hari penting (bagi masyarakat).
Tetapi pada masa Pak Harto, kita tidak banyak bisa bicara persoalan terlalu terus terang karena situasi pada masa itu. Bahkan, saat saya duduk di parlemen (Sofjan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Perwakilan Rakyat sejak tahun 1967-1987), kita tidak bisa banyak berbuat selain membela pemerintah. Terus, terjadi, di mana akhirnya, tentu, kita melihat ada kepincangan. Anda tidak bisa mengeluarkan daripada apa yang Anda rasakan dari suara hati
Memang pada zaman 25 tahun pertama Pak Harto, saya pikir baik, ya. Eksesnya, kan, terjadi setelah itu. Setelah anak-anaknya menjadi besar dan dia merasa menjadi yang mahakuasa. Maka itu, pada saat lima tahun terakhir Pak Harto, saya mulai mengkritisi untuk memperlihatkan kepada pemerintah ini the other side of the coin, dia bilang ini baik. Tetapi bagaimana masalah-masalah anaknya? Masalah monopoli-monopoli yang mereka lakukan dan lain-lain yang juga harus diketahui.
Sesudah itu, terjadi lagi krisis setelah Pak Harto selesai lalu diganti Pak Habibie. Pada masa ini peranan saya tentu tidak banyak karena saat itu saya exile (mengasingkan diri) selama
Sofjan merasa perjuangannya membangun Tanah Air selama ini dikhianati saat itu. Tanpa alasan yang jelas, pemerintah menetapkannya sebagai buronan
Pada masa ini pula, Riantini Wanandi, yang dicintai karena kedekatan sesama aktivis mahasiswa, turut merasakan kepedihan itu. Petugas imigrasi terus mempersoalkan nama Wanandi di paspornya saat dia mau bepergian atau pulang dari luar negeri. Riantini sampai harus mengganti sementara nama Wanandi dengan nama kecilnya di Padang, Suteja.