Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sofjan Semakin Lantang

Kompas.com - 06/03/2011, 03:44 WIB

Semua pengalaman ini semakin menguatkan Sofjan. ”Toh, kalau maksud saya baik, itu pokoknya yang ’di atas’ itu selalu mendukung saya. Jadi, saya tidak ada sesuatu pun ketakutan. Apalagi dalam situasi kita berdemokrasi seperti sekarang. Selama ini sama sekali tidak ada maksud menjelek-jelekkan pribadi orang ataupun ada tujuan yang sama sekali ada kepentingan pribadi yang diinginkan,” ujarnya.

Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden RI keempat pada 20 Oktober 1999 kemudian memanggil Sofjan pulang melalui Alwi Shihab. Dalam suatu acara makan siang di Istana Negara, Gus Dur pun memintanya menjadi salah satu pembantu dalam kabinet. Sofjan menolak karena masih berstatus buronan.

Tetapi, seandainya waktu bisa diputar balik dan Anda bukan buronan, maunya menjadi menteri apa?

Sebenarnya pada saat itu kalau tidak menjadi apa-apa, memang saya pikirkan dari dulu saya itu pada saat presiden memutuskan Cosmas (Cosmas Batubara, sesama aktivis 66) menjadi Menteri Tenaga Kerja, kita pernah bicarakan. Saya bilang, kenapa mereka bisa saya gak bisa? Tetapi, kan pada, masa Pak Harto kita tahu Chinese gak bisa menjadi menteri.

Kalau saya tidak ada masalah (sebagai buronan tahun 1999), mungkin bisa menjadi menteri. Karena begini, ya, Gus Dur dia paksakan saya, tetapi saya gak mau. Setelah itu, saya dipaksakan menjadi Ketua Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN). Dia buat Dewan Ekonomi Nasional dengan ketua Emil Salim. Saya DPUN dengan Ical (Aburizal Bakrie) sebagai wakil. Dia fait accompli saya (sebagai Ketua DPUN) dan diumumkan di Beijing, China. Saya sih gak mau terus (saat ditawari jabatan).

Dalam riwayat perjalanan saya hampir 40 tahun, saya selalu berdikari dan tidak bisa diperintah-perintah orang. Saya memilih membantu dari luar saja.

Kalau Anda dekat dengan Jusuf Kalla, mengapa pada era Kabinet Indonesia Bersatu I masih tetap kencang mengkritisi pemerintah?

Tiga bulan pertama pemerintahan SBY-JK, saya sempat ditegur karena terus mengkritisi kinerja pemerintah. Saya sebagai teman selalu ingin memperlihatkan the other side of the coin. Saya sendiri memang tidak suka (menunjukkan itu), tetapi seorang pemimpin harus memerhatikan. Belum tentu yang dilakukan pemimpin benar semua. Ini sikap saya untuk kebaikan bersama. Pengalaman selama puluhan tahun, pemerintahan yang lama, seperti jatuhnya Soekarno dan kemudian jatuhnya Soeharto, akibat sikap kediktatoran dan tidak bersikap adil. Jadi, kita harus betul-betul terbuka dan fair. Apalagi, sekarang ini kita berada dalam situasi demokrasi yang semakin terbuka. Tetapi, saat tidak benar, saya juga harus mengkritisi lagi supaya semua orang tidak menjadi yes man.

Kritik Anda terhadap pemimpin, seperti kepada Jusuf Kalla, apa yang dituruti dan didengar?

Sebenarnya kritik saya banyak yang didengar, tetapi ada juga yang tidak didengarkan. Misalnya, pertimbangan bail out (penalangan) bank. Saya adalah salah satu orang yang mendukung bail out. JK melawan saya dan membentak, sampai-sampai mengeluarkan berbagai dokumen untuk memperkuat alasannya. Kalau dilakukan, JK bilang akan terjadi moral hazard seperti terjadi tahun 1997-1998 (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Jangan sampai terjadi lagi. Mengapa bank-bank yang sudah dimiliki asing mesti dibela lagi? Dalam persoalan ini, saya kalah. Saya akui dia keras sekali dalam mengambil keputusan ini. Namun, saya berusaha melawan. Singapura, Australia, dan Malaysia memberikan garansi perbankan. Tetapi, dalam soal (penalangan bank) itu, saya akui, JK betul mengambil kebijakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com