Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Tiada Ujung

Kompas.com - 04/03/2011, 03:18 WIB

Tiada ujung

Sudah dari dulu Sulteng dibalut cerita pemekaran. Berdasar data BPS Sulteng, provinsi ini berdiri sendiri tahun 1964 dengan Kota Palu sebagai ibu kota. Ada empat kabupaten di dalamnya: Donggala, Poso, Buol-Tolitoli, dan Luwuk Banggai.

Dengan wilayah daratan seluas 68.033 kilometer persegi, Sulteng menjadi provinsi terluas di Sulawesi. Hal ini mendorong pemekaran. Awalnya, tahun 1993, hanya Kabupaten Donggala yang dipecah menjadi Donggala dan Kota Palu.

Seiring dengan kebijakan otonomi daerah pada tahun 1999, beberapa kabupaten lain juga dipecah-pecah. Kabupaten Poso dipilah menjadi Poso dan Morowali. Buol-Tolitoli menjadi Buol dan Tolitoli. Luwuk Banggai menjadi Banggai dan Banggai Kepulauan.

Pada tahun-tahun berikutnya, Donggala dipecah lagi menjadi Parigi Moutong dan Sigi. Sebagian Poso dijadikan Kabupaten Tojo Una-Una. Hingga akhir tahun 2008, Sulteng terdiri dari 10 kabupaten dan satu kota.

Seperti kisah di atas, muncul kemudian tuntutan membentuk Kabupaten Morowali Utara yang terpisah dari Morowali serta Kabupaten Banggai Laut dari wilayah Banggai Kepulauan. Lebih dramatis lagi, lima kabupaten di wilayah timur (Poso, Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Kepulauan, dan Morowali) juga mau membentuk provinsi sendiri, yaitu Provinsi Sulawesi Timur.

Pemekaran bertubi-tubi itu sejatinya punya tujuan mulia: membentuk kabupaten dengan cakupan wilayah terjangkau. Dengan demikian, setiap pemerintah daerah bisa bekerja lebih efektif mengurus wilayahnya. Hal itu meliputi pengembangan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

”Pemekaran itu salah satu jalan keluar untuk memajukan wilayah terbelakang. Terus terang, di luar Kota Palu, ke-10 kabupaten di Sulteng masih terhitung daerah tertinggal. Inilah tantangannya,” kata Wakil Gubernur Sulteng periode 2006-2011, Ahmad Yahya.

Kekhawatiran

Apakah tantangan itu terjawab lewat pemekaran? Agaknya masih butuh waktu lama. Pada tahun-tahun awal, pemerintahan hasil pemekaran tentu sibuk menyiapkan fasilitas perkantoran.

Begitu fasilitas tersedia, belum tentu berbagai masalah di wilayah itu segera tertangani. Pemerintahan hasil pemekaran kadang terjebak dalam semangat bagi-bagi kekuasaan. Terciptalah kerajaan-kerajaan kecil.

”Gejala-gejala itu ada. Pemerintahan baru itu menjadi sulit dikontrol karena diperkuat semacam mafia kekuasaan yang saling melindungi,” kata Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulteng Muhammad Masykur.

Kekhawatiran lain, pemekaran cenderung ditempatkan sebagai terapi instan untuk meredam konflik. Begitu konflik reda, niat memajukan wilayah dan menyejahterakan rakyat justru kerap terlupakan. Belum lagi, biasanya ada saja elite politik lokal yang memanfaatkan isu ini sebagai komoditas politik—katakanlah sekadar demi meraup simpati dalam kampanye pilkada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com