Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemekaran Tiada Ujung

Kompas.com - 04/03/2011, 03:18 WIB

Ilham Khoiri dan Reny Sri Ayu

Bangunan dua lantai yang megah itu sungguh mengenaskan. Pilar-pilar besarnya mulai retak. Kaca-kaca jendela pecah, sebagian dikotori berbagai coretan iseng. Semak liar merambat ke mana-mana.

Bangunan kosong di Kolonodale, Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, itu mirip rumah hantu. Di depannya terhampar perbukitan indah yang mengapit Teluk Towari.

”Pada hari Minggu, banyak anak muda berpacaran di sini,” kata Andri Koem (28), warga Kolonodale, akhir Februari lalu.

Gedung itu adalah kantor Bupati Morowali. Selesai dibangun tahun 2006, fasilitas itu tidak pernah difungsikan. Ibu kota Kabupaten Morowali yang asalnya dirancang di Kolonodale keburu dipindah ke Bungku. Aset bernilai miliaran rupiah itu pun mubazir.

Kesia-siaan juga terjadi pada kantor DPRD serta kantor dinas-dinas yang berjejer tak jauh dari tepian teluk. Kompleks itu sekarang bagaikan monumen kegagalan program pemekaran.

Semua itu berawal dari pemekaran Kabupaten Morowali dari Kabupaten Poso. Undang-Undang (UU) Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Morowali menyebutkan, ibu kota kabupaten baru itu di Kolonodale. Lima tahun kemudian, ibu kota bakal dipindahkan ke Bungku.

Saat itu Kolonodale dipilih sebagai ibu kota karena cukup memadai. Sementara persiapan infrastruktur di Bungku butuh waktu lama. Kerancuan lokasi ibu kota inilah—yang diboyong- boyong bak piala bergilir—pangkal masalahnya.

Saat pemindahan ibu kota tahun 2007, warga Kolonodale sontak protes. Bergabung pula sejumlah kecamatan tetangga, seperti Mori, Mori Atas, Mori Utara, Wita Ponda, Bintang Jaya, dan Mamosalato. Mereka menuntut wilayahnya dijadikan kabupaten terpisah, yaitu Kabupaten Morowali Utara dengan ibu kota Kolonodale.

Selain ada perkantoran pemerintahan tadi, Kolonodale memang juga punya beberapa fasilitas, seperti pelabuhan, pasar, dan Depot Pertamina. Alasan lain, Bungku, yang berjarak sekitar 115 kilometer dari Kolonodale, dianggap terlalu jauh.

”Jalan ke sana juga rusak parah. Kami sulit memperoleh pelayanan pemerintahan,” kata Syamsuddin (40), warga Kolonodale.

Terhadap tuntutan ini, Bupati Morowali Anwar Hafid mengaku sudah mendesak pemerintah pusat agar segera menanggapi aspirasi itu. Masalahnya, apa pun yang dilakukan pemerintahannya saat ini selalu dikaitkan dengan pemekaran. Hal ini menjadi benih konflik serius.

”Situasinya sudah mengganggu. Bahkan, kami sudah dianggap pemerintah kabupaten tetangga,” katanya.

Banggai

Kekisruhan serupa melanda Kabupaten Banggai Kepulauan yang dimekarkan dari Kabupaten Banggai. Persoalannya juga terkait dengan pergeseran ibu kota. UU Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Banggai mengatur, ibu kota kabupaten baru itu di Pulau Banggai. Lima tahun kemudian dipindahkan ke Pulau Salakan.

Ketika ibu kota diboyong ke Salakan tahun 2007, warga Pulau Banggai meradang. Meletuplah bentrokan dengan petugas kepolisian. Tiga orang tewas.

Warga kemudian memblokir pasokan kebutuhan pokok dari Pulau Banggai menuju Salakan. Memang, selama ini sebagian kehidupan warga Salakan bergantung pada Pulau Banggai yang punya pelabuhan dan infrastruktur perekonomian lebih lengkap.

Saking kesalnya, warga Pulau Banggai sempat mengancam pindah ke Provinsi Maluku Utara. Semua papan nama kantor bertuliskan Provinsi Sulawesi Tengah diganti dengan tulisan Maluku Utara. Lagu-lagu Maluku dan Ambon ramai diputar.

Kemarahan itu mereda setelah muncul janji untuk menjadikan Pulau Banggai dan beberapa pulau lain sebagai kabupaten baru, yaitu Kabupaten Banggai Laut. Wilayahnya mencakup sekitar 400 pulau besar dan kecil dengan ibu kota di Pulau Banggai.

Kini rencana pemekaran Kabupatan Morowali Utara dan Kabupaten Banggai Laut sama-sama masih belum jelas. Proses itu tersendat kebijakan moratorium (penghentian sementara) pemekaran oleh pemerintah pusat.

Tiada ujung

Sudah dari dulu Sulteng dibalut cerita pemekaran. Berdasar data BPS Sulteng, provinsi ini berdiri sendiri tahun 1964 dengan Kota Palu sebagai ibu kota. Ada empat kabupaten di dalamnya: Donggala, Poso, Buol-Tolitoli, dan Luwuk Banggai.

Dengan wilayah daratan seluas 68.033 kilometer persegi, Sulteng menjadi provinsi terluas di Sulawesi. Hal ini mendorong pemekaran. Awalnya, tahun 1993, hanya Kabupaten Donggala yang dipecah menjadi Donggala dan Kota Palu.

Seiring dengan kebijakan otonomi daerah pada tahun 1999, beberapa kabupaten lain juga dipecah-pecah. Kabupaten Poso dipilah menjadi Poso dan Morowali. Buol-Tolitoli menjadi Buol dan Tolitoli. Luwuk Banggai menjadi Banggai dan Banggai Kepulauan.

Pada tahun-tahun berikutnya, Donggala dipecah lagi menjadi Parigi Moutong dan Sigi. Sebagian Poso dijadikan Kabupaten Tojo Una-Una. Hingga akhir tahun 2008, Sulteng terdiri dari 10 kabupaten dan satu kota.

Seperti kisah di atas, muncul kemudian tuntutan membentuk Kabupaten Morowali Utara yang terpisah dari Morowali serta Kabupaten Banggai Laut dari wilayah Banggai Kepulauan. Lebih dramatis lagi, lima kabupaten di wilayah timur (Poso, Tojo Una-Una, Banggai, Banggai Kepulauan, dan Morowali) juga mau membentuk provinsi sendiri, yaitu Provinsi Sulawesi Timur.

Pemekaran bertubi-tubi itu sejatinya punya tujuan mulia: membentuk kabupaten dengan cakupan wilayah terjangkau. Dengan demikian, setiap pemerintah daerah bisa bekerja lebih efektif mengurus wilayahnya. Hal itu meliputi pengembangan infrastruktur, ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

”Pemekaran itu salah satu jalan keluar untuk memajukan wilayah terbelakang. Terus terang, di luar Kota Palu, ke-10 kabupaten di Sulteng masih terhitung daerah tertinggal. Inilah tantangannya,” kata Wakil Gubernur Sulteng periode 2006-2011, Ahmad Yahya.

Kekhawatiran

Apakah tantangan itu terjawab lewat pemekaran? Agaknya masih butuh waktu lama. Pada tahun-tahun awal, pemerintahan hasil pemekaran tentu sibuk menyiapkan fasilitas perkantoran.

Begitu fasilitas tersedia, belum tentu berbagai masalah di wilayah itu segera tertangani. Pemerintahan hasil pemekaran kadang terjebak dalam semangat bagi-bagi kekuasaan. Terciptalah kerajaan-kerajaan kecil.

”Gejala-gejala itu ada. Pemerintahan baru itu menjadi sulit dikontrol karena diperkuat semacam mafia kekuasaan yang saling melindungi,” kata Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat Sulteng Muhammad Masykur.

Kekhawatiran lain, pemekaran cenderung ditempatkan sebagai terapi instan untuk meredam konflik. Begitu konflik reda, niat memajukan wilayah dan menyejahterakan rakyat justru kerap terlupakan. Belum lagi, biasanya ada saja elite politik lokal yang memanfaatkan isu ini sebagai komoditas politik—katakanlah sekadar demi meraup simpati dalam kampanye pilkada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com