Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gayus dan Pembuktian Terbalik

Kompas.com - 16/02/2011, 05:34 WIB

Oleh Bambang Widjojanto

Gayus Tambunan bisa saja divonis tujuh tahun dan instruksi presiden dapat saja dikeluarkan. Akan tetapi, siapa yang bisa menjamin Gayus tidak lagi ”mempermainkan” lembaga hukum dan perpajakan hingga kelak menyelesaikan masa hukumannya? Ataukah siapa yang dapat memastikan tindak kejahatan serupa kasus Gayus tidak sedang berlangsung marak di lembaga tersebut?

Sangatlah tepat jika tajuk dari media cetak ini mempertanyakan kelanjutan atas instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menuntaskan penanganan kasus Gayus. Tajuk juga secara tersirat harus ditafsirkan ingin mempersoalkan apakah pihak lain yang terlibat juga dapat dituntaskan secara hukum. Pertanyaan selanjutnya yang lebih struktural dalam kaitan instruksi presiden adalah apakah instruksi presiden dapat jadi pintu masuk untuk menyelesaikan mafia pajak dan mafia hukum, bukan sekadar kasus Gayus semata?

Salah satu hal penting dalam instruksi presiden adalah penerapan pembuktian terbalik yang bertujuan meningkatkan efektivitas penegakan hukum. Tulisan ini hendak mengelaborasi berbagai hal penting agar penerapannya dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembentukan serta instruksi presiden.

Pada sebagian diskursus mengenai pemberantasan korupsi, frasa kata ”pembuktian terbalik” senantiasa diajukan sebagai suatu metode dan prasyarat meningkatkan upaya dan hasil pemberantasan korupsi. Untuk itu, perlu diajukan beberapa prasyarat dan diintegrasikan dalam suatu sistem pemberantasan korupsi yang tepat agar pembuktian terbalik dapat benar-benar efektif.

Secara umum, strategi pemberantasan korupsi harus bertumpu pada beberapa hal. Pertama, kontrol atas penggunaan wewenang, khususnya kewenangan diskresionari yang potensial menciptakan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, menggunakan metode mengikuti aliran uang sehingga akan diketahui pergerakan uang hasil kejahatan. Ketiga, membuat kebijakan untuk mengikuti aliran aset. Dengan demikian, kelak diketahui apakah peningkatan kekayaan seorang penyelenggara negara sesuai penghasilannya secara material dan relevan.

Ada dua fakta yang secara diametral berjalan berlawanan. Di satu sisi, ketentuan pembuktian terbalik telah dikemukakan dalam UU No 20 Tahun 2001 dan bersifat ”premium remedium”. Ini mengandung prevensi khusus terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara. Pembuktian dimaksud adalah prasyarat untuk melakukan perampasan harta benda milik tersangka dan/atau terdakwa yang berasal dari gratifikasi dan/atau tindak pidana korupsi tertentu lainnya.

Di sisi lain, kendati ketentuan dimaksud telah ada jauh sebelum instruksi presiden, ternyata sangat tidak efektif digunakan untuk memberantas korupsi.

Harus lebih diefektifkan

Perlu beberapa upaya lain agar pembuktian terbalik efektif diterapkan. Caranya, satu, Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) harus dapat diakses. Selain itu, KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Huruf a UU No 30 Tahun 2001, seyogianya tidak hanya berwenang melakukan pendaftaran dan LHKPN, tetapi juga memiliki wewenang pemeriksaan sebagaimana wewenang yang dimiliki Komisi Pemeriksa Kekayaan penyelenggara Negara (KPKPN).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com