Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Intoleran pada Intoleransi

Kompas.com - 12/02/2011, 05:07 WIB

Bahkan, ”tuhan” di antara mereka pun—kaum pagan itu—dipertempurkan untuk memperoleh kemenangan, dalam arti ”tuhan” yang satu dominan atau menguasai ”tuhan” yang lain. Hingga kemudian tegaklah ”tuhan” yang paling kuasa, bahkan kuasa tunggal, dengan ”T” kapital. Tuhan yang kadang begitu otoriternya terhadap ”tuhan” atau umat yang lain.

Tentu saja bukan kerjaan ”tuhan” itu sendiri untuk berkelahi dan menciptakan dominasi, melainkan semata pekerjaan manusia dengan ambisi kuasa dengan permainan politiknya. Perlu dipahami, pada mulanya sistem kepercayaan pada ”tuhan” ini berimplikasi eksoteris atau duniawinya, termasuk keyakinan terhadap daratan atau tanah atau wilayah yang dianggap sebagai hak ilahiahnya.

Intoleransi semacam ini menciptakan konsekuensi logis hingga pada tingkat personal, pada proses individuasi atau modus eksistensialisasi. Eksistensi atau keber-”ada”-an satu pribadi ditentukan dengan silogisme yang menegasi pihak lain. Aku adalah bukan kau. Atau, ”kau adalah nerakaku” menurut eksistensialisme sartreian.

Semua proses pembudayaan itu secara diametral berbeda dengan adab laut, pesisir, atau maritim. Dalam adab terakhir ini, modus eksistensialnya justru berada pada pengakuan akan keber-”ada”-an atau eksistensi lain. Bahkan, lebih dalam lagi, satu diri akan tegak karena tegaknya diri yang lain: Aku ada karena kamu ada, begitu pun sebaliknya.

Maknanya, kita secara natural dan nurtural akan meniadakan atau mengosongkan sebagian dari diri kita untuk dikomplementasi, diisi, bahkan diperfeksi oleh ”orang lain” (the other). Dengan proses semacam inilah kemudian tradisi dan kultur dikembangkan, diwariskan. Inilah kita, bangsa ini, lebih dari 400 etnik di kepulauan ini, pewaris dan pemilik sah adab maritim ini. Bukan sejak dua milenia lalu, saat bangsa Arya—yang kontinental itu—merambah tanah kita, menjajah kita, melainkan sejak belasan milenia sebelum itu.

Maka, jika kita lebih cermat memahami data historis, arkeologis, hingga paleontologis yang ada secara netral—dalam arti belum dalam tafsir tendensius para indonesianis—kita akan mafhum: kita adalah bangsa dengan adab kelautan yang advanced, desisif di tingkat regional, bahkan global.

Intoleransi itu

Dengan adab pesisir yang terbuka, egaliter, dan toleran itulah bangsa ini sebenarnya mengembangkan kebudayaan. Dengan modus itu pula etnik, suku bangsa—juga diri kita—dibentuk. Multikulturalisme dalam makna sesungguhnya adalah keniscayaan kita. Bhinneka Tunggal Ika rumusan cerdas dari fitrah kita.

Realitas obyektif itulah kekuatan kita sebenarnya, yang tetap tegak berhadapan dengan taifun kebudayaan kontinental yang berusaha keras menyapu rumah tempat sejarah dan adat kita berdiam. Namun, kita pun menjadi saksi bagaimana taifun itu menyebabkan luka-luka politik, ekonomis, ideologis, hingga spiritualistis. Kultur intoleran adab daratan ini menciptakan ekses di berbagai dimensi, termasuk intoleransi hingga kekerasan dalam agama.

Persoalan yang cukup kronis pada kita adalah ketika kita tidak mampu—bahkan tidak mau— menerima realitas diri atau diri eksistensial kita yang sebenarnya, yang maritim. Bukan hanya resistensi dari segolongan kita yang merasa ”ada” dan dibesarkan karena kultur daratan (kerajaan atau kekuasaan konsentris), melainkan juga karena pikiran ”renaisans” telah begitu menguasai cara kita mengapresiasi, menjalani, menghayati, hingga mentransendensi hidup dan diri kita sendiri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com