KIKI SYAHNAKRI
Fenomena maraknya kembali tindak kekerasan mencuatkan pertanyaan, apa yang sedang terjadi dengan Republik tercinta ini? Kasus kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, yang mengakibatkan tewasnya tiga warga Ahmadiyah dan sejumlah lainnya luka-luka, serta insiden di Pengadilan Negeri Temanggung yang dilatari kasus dugaan penistaan agama -yang berujung pada pembakaran dua gereja serta sejumlah sekolah- mencerminkan rapuhnya soliditas nasional dan rentannya negeri kita terhadap konflik.
Kedua insiden tersebut memancing reaksi berbagai kalangan, antara lain yang meminta agar kaum ulama lebih serius membina umat. Ada yang menuding lemahnya penegakan hukum dan lambannya aparat sebagai soal utama.
Bahkan, beredar pula dugaan yang lebih bersifat rumor dan agak tendensius. Misalnya, bahwa ini adalah metode pengalihan isu yang dilakukan pemerintahan SBY, atau cara yang dipakai TNI untuk menggoyang SBY, atau wujud balasan terhadap para tokoh agama yang menilai pemerintah berbohong.
Memang analisis yang cenderung ”liar” ini menjadi seolah logis, mengingat banyak kasus raksasa yang belum terselesaikan, bahkan dipolitisasi. Namun, tuduhan serta rumor tersebut sulit dibuktikan. TNI pun sudah cukup jauh dalam reformasi internalnya, konsisten sebagai bayangkari NKRI, dan tidak lagi akrab dengan intrik politik sehingga mustahil melakukan hal seperti itu.
Dengan demikian, kita perlu menggali lebih dalam untuk menemukan akar masalah sesungguhnya. Jika tidak, yang terjadi hanyalah solusi eksperimental, sekadar uji coba, dan tak kunjung tuntas. Kendati para tokoh agama telah melakukan pembinaan umat dengan serius, aparat telah bertindak cerdas, tegas, dan cepat, tetapi persoalan serupa akan muncul kembali selama akar utamanya tidak dicabut.
Masalah fundamental Hemat penulis, akar pokok problematika keindonesiaan saat ini bercabang tiga. Pertama, telah dipaksakan suatu ”transplantasi (demokrasi) liberal” di negeri ini. Dengan demikian, kita telah membunuh ”gen” keindonesiaan yang mengalir dalam darah kebangsaan kita. ”Golongan darah” kita adalah Pancasila yang mengandung ”gen” kolektivisme (ala Indonesia) berisi nilai kekeluargaan, gotong royong, musyawarah-mufakat, dan toleransi.
Sementara kita transplantasikan ”demokrasi liberal” yang golongan darahnya individualisme, terlebih disertai dengan kebebasan yang nyaris tanpa batas sehingga melunturkan jati diri bangsa dan spirit nasionalisme, menggoyahkan persatuan dan kerukunan, serta mengebiri kedaulatan negara.
Karena transplantasi yang tidak sesuai dengan ”golongan darah” sendiri tersebut, tubuh bangsa kita pun bersikap reaktif dan menjadi lemah daya tahannya, menimbulkan berbagai patologi sosial, serta problematika bangsa yang kompleks.
Dari segi politik, sistem politik yang ”ultraliberal”, menggunakan voting, pemilihan langsung, seraya membuang sistem permusyawaratan perwakilan yang sesungguhnya menjadi basis kulturalis bangsa Indonesia.