Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemangkusan Pemerintahan

Kompas.com - 19/01/2011, 04:05 WIB

Bahkan, melihat manajemen sepak bola nasional yang amburadul dan prestasi yang tak kunjung memberi kebanggaan, orang minta agar presiden turun tangan. Sebagai kepala negara, presiden dianggap sudah semestinya tak berdiam diri.

Pada saat sama, sebagai pemimpin lembaga pemerintah, presiden berada dalam kedudukan sejajar dengan lembaga negara lainnya. Tak boleh masuk dan tak boleh pula menabrak kewenangan lembaga negara lainnya. Lantas, siapa yang harus bertindak bila keadaan seperti sedikit contoh tadi berlarut-larut dan memburuk?

Haruskah semua itu dibiarkan demi cita-cita demokrasi dan kedewasaan pemegang kewenangan? Atau, harus menerimanya sebagai harga yang harus dibayar dalam proses transisi dan baru setelah keadaan jadi sedemikian jelek, presiden dibiarkan turun tangan dengan menyatakan negara dalam keadaan darurat?

Sistem konstitusi kita tak kenal pemisahan dengan tegas fungsi presiden sebagai kepala negara dan sebagai pemimpin pemerintah. Kalaupun langkah turun tangan tadi akan diambil, dan seandainya pun harus mengingat sumpah jabatannya berdasarkan UUD, tidak dapat dipisahkan hal itu diambil dalam kedudukannya sebagai kepala negara ataukah sebagai pemimpin pemerintahan.

Buka pintu kepada partai

Mungkin tak perlu berdebat lagi tentang hakikat dan konsep primus inter pares. Ketika kedudukan dan peran kepala negara telah dirumuskan secara limitatif dalam konstitusi, sedangkan sebagai pemimpin pemerintah dibatasi dengan berbagai tidak boleh ini dan tidak boleh itu, tampaknya tak terlalu salah bila kemudian orang bertanya-tanya bagaimana sebaiknya menata kembali peran kepala negara dalam konstitusi kita.

Mungkin penataan kembali itu tak perlu. Sering terdengar wacana, determinasi dan keberanian presiden untuk bertindak sebagai pemerintah yang kuat dan mangkus (efektif) merupakan kunci utama.

Dalam sistem presidensial, presiden adalah pemimpin dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dipilih langsung oleh rakyat, pertanggungjawabannya hanya kepada rakyat. Hubungan dengan lembaga negara—khususnya DPR—adalah setara meski dalam fungsi pengawasan, DPR dapat menilai apakah presiden telah melanggar UUD dan berujung pada pemakzulan di MPR.

Dalam sistem ini, peran partai politik tak melintas ke ranah kepresidenan. Ia sesungguhnya hanya berhenti di DPR dan MPR. Bahwa praktik selama ini presiden sendiri yang ”membuka pintu” bagi partai politik, membentuk koalisi di DPR untuk membangun dukungan politik bagi stabilitas pemerintahannya, lantas melemahkan sistem presidensial, maka hal itu adalah politik praktis belaka.

Sistem presidensial tak mensyaratkan hal demikian dan bukan pula bagian dalam mekanismenya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com