Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kemangkusan Pemerintahan

Kompas.com - 19/01/2011, 04:05 WIB

Bila demikian, mengapa ketika kekacauan di bidang hukum berlangsung (sementara penegakan hukum minus proses pengadilan sebenarnya domain pemerintah), dan kehidupan demokrasi cenderung abai terhadap aturan (sementara penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat adalah domain pemerintah), presiden lantas tak boleh memasuki wilayah tersebut hanya karena alasan tidak boleh intervensi atau tak boleh mencampuri proses pelaksanaan kedaulatan rakyat dan hak politik mereka?

Pastilah tak semua alasan pelarangan tadi tepat benar. Lantas, di mana letak persoalan yang kemudian mengesankan pemerintahan tidak mangkus?

Di luar sebab-sebab dan langkah yang mungkin timbul dari keyakinan politik presiden sendiri, masalah apa dan mana dalam konstitusi yang obyektif bikin presiden tak dapat bertindak mangkus?

Trauma terhadap ekses terlalu kuatnya posisi dan kewenangan presiden di masa sebelum amandemen UUD adalah fakta sejarah dan menjadi ingatan kolektif bangsa. Karena itu pula, penipisan kewenangan presiden sudah berlangsung dalam rangkaian empat amandemen yang lalu.

Meski begitu, Ikatan Alumni Lemhannas dalam konvensinya tahun 2007 menilai penipisan itu terlalu banyak. Dalam penilaian ikatan itu, sadar atau tidak penipisan kewenangan itulah yang pada gilirannya memberi pengaruh yang kurang menguntungkan terhadap operasionalisasi sistem presidensial, kinerja presiden, dan soal kemangkusan pemerintahan. Sebaliknya, penipisan itu malah menimbulkan kesan sekadar momentum mempertebal kewenangan DPR.

Timpang

Bukan saja DPR dapat menginisiasi pendapat atau penilaian yang kemudian berujung pemakzulan (Pasal 7B), sementara presiden tak dapat membekukan atau membubarkan DPR (Pasal 7C), dalam manajemen perundang-undangan pun kewenangan tersebut juga timpang. Penggeseran kekuasaan membuat UU ke DPR jelas tak menjadi persoalan teoretis.

Namun, ketika presiden tak punya hak tolak dan hanya ”bertugas” mengesahkan RUU (Pasal 20.4 Amandemen 1), sedangkan bila tak mengesahkan, maka RUU tetap akan sah menjadi UU setelah 30 hari sejak persetujuannya di DPR (Pasal 20.5 Amandemen 2), persoalan jadi lain.

Sistem konstitusi tiba-tiba menempatkan presiden dalam situasi tak sederhana, terutama ketika materi sebuah RUU tak sesuai dengan (atau sulit dilaksanakan dalam kaitannya dengan) pelaksanaan janji dan program yang telah ia tawarkan kepada rakyat selama pemilu, yang kemudian mengantarnya menjadi presiden.

Tak mengesahkan—apalagi tak melaksanakan—jelas bertentangan dengan sumpah jabatan. Besar-kecilnya hal itu memberi kanal politik yang dapat berujung ke pemakzulan. Secara teoretis dapat saja presiden memerintahkan sedari awal agar tak mengajukan RUU yang merugikan posisinya. Atau, dengan jelas meniadakan bagian dalam rancangan yang dinilainya tak sesuai dengan arah kebijakannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com