Menghapus sekat
Semangat berbagi yang menghapus sekat agama dan suku juga tumbuh di hunian sementara Kabo 1, Desa Kabo, Distrik Kabo. Keluarga Aco Sangkala (28), seorang Muslim, dengan senang hati berbagi air bersih atau minyak goreng dengan keluarga Yati Lamomu (37), seorang Kristen.
”Belum ada pejabat yang singgah ke sini. Tetapi, kalau hanya mengharapkan pejabat datang, bisa-bisa kami mati kelaparan,” ujar Yati.
Pernah suatu hari datang nasi kotak kiriman pemerintah setempat. Namun, pengungsi malah gatal-gatal setelah melahap nasi berlauk ikan itu. Bahkan, seorang anak harus dievakuasi ke rumah sakit karena diduga keracunan makanan.
Pengungsi pun jera menerima sumbangan nasi kotak lagi dan memilih mengurus makanan secara mandiri.
Sepekan sesudah mereka menghuni hunian sementara Kabo 1, baru mobil tangki datang mengisi penampung air. Itu pun sudah habis hanya dalam tiga hari. Di Hunian Sementara Kabo 1, Desa Kabo, Kecamatan Kabo, Kabupaten Teluk Wondama, jumlah pengungsi mencapai 300 orang.
Jadilah sejumlah pengungsi mengumpulkan uang untuk sekadar menyewa mobil pengangkut air. Setiap keluarga mengiur Rp 10.000 untuk membeli 400 liter air bersih dari mobil penjual air keliling.
Minyak goreng pun dibagi. Pernah pengungsi mendapatkan bantuan minyak goreng dari mahasiswa di Nabire, Papua. Setiap barak dijatah empat botol. Setelah dibagi-bagi, setiap keluarga hanya mendapatkan dua gelas kecil minyak.
”Tak mengapa, dibagi-bagi. tak ada perbedaan asal daerah, keyakinan, atau warna kulit. Di sini kami sama-sama susah,” kata Thomas.
Hidup di penampungan sungguh bukan hal yang mudah. Mereka baru mendapatkan penerangan tiga minggu kemudian. Saat aliran listrik belum menyala, mereka harus berbagi lampu teplok. Pengungsi yang memiliki lilin dengan rela membagikannya kepada yang lain.