Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahal Jadi Pejabat Publik

Kompas.com - 18/10/2010, 08:45 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahal. Itulah kata yang tepat untuk menggambarkan ”syarat” menjadi pejabat publik di negeri ini. Mahal tak hanya biaya yang harus dikeluarkan si calon pejabat, tetapi juga anggaran yang harus ditanggung negara. Juga tak ada jaminan pejabat yang dihasilkan proses itu kredibel dan bebas dari perilaku koruptif.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho di Jakarta, Sabtu (16/10), mengakui, pemilihan pejabat publik di negeri ini bermasalah. Biaya tinggi yang dikeluarkan tak menghasilkan pemimpin seperti yang diharapkan. Mereka terjerat persoalan hukum atau pelanggaran kode etik.

Tengoklah biaya yang harus dikeluarkan negara untuk memilih tujuh anggota Komisi Yudisial (KY) periode 2005-2010, mencapai Rp 3,6 miliar. Hasilnya, pengawasan terhadap hakim kini masih bersoal, dan seorang komisioner KY periode itu, Irawady Joenoes, pada 2007 ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap terkait pengadaan tanah untuk kantor KY.

Biaya memilih tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2007-2012 mencapai Rp 5,7 miliar. Namun, Pemilu 2009 dipersoalkan kualitasnya. Tahun 2010, anggota KPU, Andi Nurpati, juga memilih menjadi pengurus Partai Demokrat, yang lalu memunculkan kecurigaan atas kemandirian KPU.

Seleksi pemimpin KPK periode 2007-2011 dan seleksi pemimpin Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dengan biaya Rp 2,4 miliar juga menyisakan masalah. Ketua KPK hasil seleksi saat itu, Antasari Azhar, menjadi tersangka kasus pembunuhan berencana. Dua anggota LPSK, Myra Diarsi dan Ktut Sudiharsa, dinonaktifkan karena diduga melanggar kode etik.

Biaya calon

Calon pejabat publik pun ditengarai mengeluarkan dana, atau disponsori pihak lain, agar bisa terpilih. Kasus terbaru adalah penetapan 26 anggota DPR periode 1999-2004 sebagai tersangka korupsi penerimaan cek perjalanan, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, yang dimenangi Miranda S Goeltom. Sebelumnya, empat anggota DPR periode 1999-2004 menjadi terpidana untuk kasus ini.

Dalam perkara ini, belum ada indikasi Miranda membiayai keterpilihannya. Namun, terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, cek perjalanan senilai lebih dari Rp 23 miliar disalurkan kepada anggota DPR oleh pengusaha Nunun Nurbaeti, melalui stafnya, Ahmad Safari (Ari) Malangyudo. Miranda hanya terungkap pernah bertemu Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR sebelum pemilihan. F-PDIP mendukung Miranda. Anggota fraksi ini diduga menerima Rp 9,8 miliar, terkait kasus ini.

Namun, politisi PDI-P Panda Nababan mengakui, pertemuan dengan calon pejabat publik adalah hal biasa. Bahkan, dalam rapat dengar pendapat Komisi III DPR dengan KPK, Kamis pekan lalu, ia mengaku melakukan pertemuan dengan Chandra M Hamzah, yang kini menjadi Wakil Ketua KPK, di sebuah hotel, sebelum uji kelayakan dan kepatutan calon pemimpin KPK tahun 2007. Biaya pertemuan itu ditanggung pengundang.

Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengakui, mungkin saja calon pejabat publik melakukan pendekatan pada anggota DPR. ”Secara resmi tidak ada biaya yang harus dikeluarkan calon agar terpilih. Namun, pendekatan mungkin dilakukan lewat fraksi dan di luar kegiatan resmi,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pasal-pasal di RUU Penyiaran Dinilai Berupaya Mengendalikan dan Melemahkan Pers

Pasal-pasal di RUU Penyiaran Dinilai Berupaya Mengendalikan dan Melemahkan Pers

Nasional
Korban Meninggal akibat Banjir Lahar di Sumbar Kembali Bertambah, Total 62 Orang

Korban Meninggal akibat Banjir Lahar di Sumbar Kembali Bertambah, Total 62 Orang

Nasional
Indonesia Dukung Pembentukan Global Water Fund di World Water Forum Ke-10

Indonesia Dukung Pembentukan Global Water Fund di World Water Forum Ke-10

Nasional
Waisak 2024, Puan Ajak Masyarakat Tebar Kebajikan dan Pererat Kerukunan

Waisak 2024, Puan Ajak Masyarakat Tebar Kebajikan dan Pererat Kerukunan

Nasional
Jokowi Ucapkan Selamat Hari Raya Waisak, Harap Kedamaian Selalu Menyertai

Jokowi Ucapkan Selamat Hari Raya Waisak, Harap Kedamaian Selalu Menyertai

Nasional
Kementerian KKP Bantu Pembudidaya Terdampak Banjir Bandang di Sumbar

Kementerian KKP Bantu Pembudidaya Terdampak Banjir Bandang di Sumbar

Nasional
Jokowi Bakal Jadi Penasihatnya di Pemerintahan, Prabowo: Sangat Menguntungkan Bangsa

Jokowi Bakal Jadi Penasihatnya di Pemerintahan, Prabowo: Sangat Menguntungkan Bangsa

Nasional
Soal Jatah Menteri Demokrat, AHY: Kami Pilih Tak Berikan Beban ke Pak Prabowo

Soal Jatah Menteri Demokrat, AHY: Kami Pilih Tak Berikan Beban ke Pak Prabowo

Nasional
Prabowo: Saya Setiap Saat Siap untuk Komunikasi dengan Megawati

Prabowo: Saya Setiap Saat Siap untuk Komunikasi dengan Megawati

Nasional
Tak Setuju Istilah 'Presidential Club', Prabowo: Enggak Usah Bikin Klub, Minum Kopi Saja

Tak Setuju Istilah "Presidential Club", Prabowo: Enggak Usah Bikin Klub, Minum Kopi Saja

Nasional
1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

1.168 Narapidana Buddha Terima Remisi Khusus Waisak 2024

Nasional
Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Menteri AHY Usulkan Pembentukan Badan Air Nasional pada WWF 2024

Nasional
Hormati jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Hormati jika PDI-P Pilih di Luar Pemerintahan, Prabowo: Kita Tetap Bersahabat

Nasional
Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Setiap Hari, 100-an Jemaah Haji Tersasar di Madinah

Nasional
PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

PDI-P Sebut Anies Belum Bangun Komunikasi Terkait Pilkada Jakarta

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com