Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengayuh Sepeda untuk Hidup

Kompas.com - 24/06/2010, 09:31 WIB

Hingga tahun 1990-an, kata Muchzin, masih ramai rombongan pesepeda dari kampungnya ke Semarang. Namun, kini, pekerja bersepeda bisa dihitung dengan jari. ”Kebanyakan sudah naik sepeda motor,” kata lelaki beranak enam dan memiliki dua orang cucu ini.

Muchzin tetap bersepeda. Ia enggan mengambil sepeda motor kreditan, sebagaimana teman-temannya. ”Enggak sanggup. Makan apa anak-anak kalau harus bayar cicilan. Kerja sehari hanya dapat Rp 30.000, kadang juga enggak ada kerjaan,” kata dia.

Berbeda dengan pergerakan roda sepedanya yang nyaris tak berhenti, hidup Muchzin justru nyaris mandek. Selain sepeda tua dan rumah bambu warisan mertua, tidak ada yang berubah dari hidupnya. Sepedanya juga tetap sama, merek Raleigh. Sepeda itu dibeli seharga Rp 35.000 pada tahun 1971, dari hasil menjual dua kambing dan utang koperasi desa Rp 15.000. ”Kalau sekarang mungkin harganya Rp 350.000,” katanya.

Sepeda itu pernah ditawar orang Rp 200.000. Namun, Muchzin tak menjual sepedanya. ”Ini sepeda kenangan, satu-satunya modal kerja saya. Saya tak punya sawah atau ternak. Saya juga masih ingat betapa susah membeli sepeda ini. Dulu, tiap Rabu haru bayar cicilan utang ke koperasi,” kata dia.

Terpaksa bersepeda

Di tengah arus deras modernisasi alat transportasi, masih banyak orang seperti Muchzin yang terpaksa bersepeda. Bagi mereka, sepeda tak hanya sebagai alat transportasi, tetapi sudah menjadi modal dasar menghidupi keluarga.

Di jalur Sragen-Ngawi, Sugianto (55) terpaksa menjadikan sepeda sebagai penyambung hidup. Tiap hari, ia harus mengayuh sepeda puluhan kilometer dengan beban kayu bakar lebih dari satu kuintal.

Lelaki dari Dusun Gelung, Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, itu menjalani profesinya sejak 15 tahun silam. Setiap pukul 05.00, ia harus bergegas mengayuh sepeda ontel menuju hutan jati Ngawi. Dia mesti mengorek sisa akar jati dan mengumpulkan ranting. Baru pukul 12.00 dia keluar dari hutan dan menyusuri jalan untuk menawarkan kayu bakar.

Selain mencari kayu bakar, pada musim tanam padi Sugianto juga menjadi buruh tani. ”Saya tak punya sawah atau ladang. Hanya bisa memburuh atau cari kayu,” katanya.

Tahun 1980-an, Sugianto merantau ke Jakarta, bekerja sebagai sopir di perusahaan rokok. Sepuluh tahun tanpa kemajuan, dia pulang kampung dengan rasa kalah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com