Dalam pola survival, perekrutan politik didasarkan dan diarahkan pada politisi yang memiliki sumber finansial yang kuat dan memiliki basis massa yang potensial mendulang suara dalam pemilu. Dengan bekerjanya pola perekrutan itu, PKS menjadi semacam ”keranjang besar” dari berbagai segmentasi politisi yang memiliki latar sosial-politik yang beragam. Dalam pilihan semacam ini, PKS bukan lagi sepenuhnya menjadi milik para pendukung tradisionalnya.
Komplikasi politik
Pilihan untuk menekankan strategi memburu suara bukannya tidak memunculkan komplikasi politik baru. Perubahan wajah partai ke arah catch all-party tentu akan menimbulkan reaksi dari basis pendukung tradisionalnya. Reaksi yang muncul beragam, mulai dari munculnya suara keras untuk kembali ke watak partai ideologis sampai pada pilihan untuk meninggalkan partai dalam pemilu. Dari luar, reaksi internal ini dibaca sebagai pergulatan yang semakin tajam antardua kubu dalam tubuh PKS: kubu idealis-ideologis dengan kubu pragmatis-realistis (Kompas, 15/6).
Walaupun terjadi pergulatan tajam dua kubu, sepertinya PKS memiliki cara untuk mengelola persaingan internal ini. Satu yang pasti adalah masih kuatnya posisi dan pengaruh Dewan Syura dalam dinamika partai. Presiden PKS sangat mudah untuk berganti, tetapi Ketua Dewan Syura tidak pernah tergantikan. Hal ini bisa menjadi jawaban atas masih terjaganya perimbangan kekuatan antarfaksi. Dan, ini sekaligus menjadi penjelas bagi wajah lain PKS, yang satu sisi tampak memiliki organisasi partai yang profesional, tetapi di sisi lain lokus kekuasaan sesungguhnya masih memusat.
Walaupun politik dua kaki masih bisa dikelola, tetap saja pertaruhannya soal kredibilitas partai, yang tampak dari penilaian publik atas wajah partai di parlemen dan pemerintahan. Di satu sisi, dengan cara kerja catch-all party akan memperoleh insentif politik berupa suara yang dibawa oleh politisi dari berbagai segmen yang direkrutnya. Namun, di sisi lain, PKS menghadapi persoalan ketika politisi yang diambilnya ternyata tidak kredibel. Ketika terjadi problem pada kredibilitas politisinya, hal ini justru menjadi diinsentif politik buat PKS.
Selain itu, sejalan dengan rumusan ideologi partai yang semakin cair dan di mana kerja sama dengan mitra koalisi menjadi sebuah keharusan, sangat mudah PKS terjebak dalam politik kartel. Ketika sebuah kartel politik terbentuk, secara perlahan perilaku partai lebih berorientasi pada upaya memonopoli sumber-sumber daya ekonomi-politik yang dikuasai oleh negara dan menciptakan sebuah lingkungan legal yang mendukung partai yang berkuasa, tetapi mendiskriminasikan pesaing baru. Sekali lagi kredibilitas partai kembali dipertaruhkan.
*AA GN Ari Dwipayana Dosen Politik dan Pemerintahan UGM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.