Oleh: Suhartono
KOMPAS.com - Dari ruang ”terbuka” menjadi ruang ”tertutup”. Itu sebuah kisah pagar dan halaman sekeliling Istana Merdeka dan Istana Negara di Jakarta. Selama enam masa Presiden RI, sejak Soekarno hingga Susilo Bambang Yudhoyono, ruang-ruang ”terbuka” dan ”tertutup” itu memiliki cerita sendiri yang tak bisa dipisahkan dengan momentum zamannya.
Pagar dan halaman Istana Merdeka dan Istana Negara jadi ruang ”terbuka” ketika bendera tiga warna, Merah-Putih-Biru, diturunkan dari puncak tiang di halaman Istana Gambir (nama Istana Merdeka waktu itu) pada 27 Desember 1949. Ketika itu, rakyat memekikkan ”Merdeka, Merdeka, Hidup Indonesia” setelah lagu kebangsaan ”Indonesia Raya” dikumandangkan mengantar Merah- Putih ke puncak tiang.
Sehari setelah peristiwa itu, Presiden pertama, Soekarno, masuk Istana Gambir dengan iringan pekikan rakyat yang berkumpul di depan Istana. Pekik ”Merdeka” itulah yang menggerakkan Bung Karno mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka.
Sejak tinggal di Istana, Soekarno membiarkan bagian-bagian luar Istana Merdeka terbuka sehingga merupakan serambi- serambi dan beranda-beranda yang luas. Pagar Istana waktu itu hanya sepinggul orang dewasa. Beberapa bagian beranda yang terbuka itu dilengkapi dengan kursi-kursi rotan. Di situlah kadang-kadang Soekarno menemui tamu-tamunya, termasuk melayani wawancara pers.
Saat munculnya gelombang demonstrasi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAMI/KAPI) menuntut mundurnya Soekarno, sekeliling Istana menjadi ruang ”tertutup”. Pasukan Cakrabirawa, sebelum diubah menjadi Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres), menjaga ketat sampai radius puluhan meter dari halaman depan Istana agar mahasiswa tak bisa berunjuk rasa di depan rumah Presiden.
Pada era Soeharto, yang berkuasa hampir 32 tahun lamanya, juga menjadikan pagar dan halaman Istana menjadi benar- benar ruang ”tertutup”. Hanya perwakilan mahasiswa semua perguruan tinggi pada zaman Hariman Siregar yang bisa menginjakkan kakinya di halaman Istana untuk bisa bertemu Soeharto. Itu pun setelah ada izin dengan pengawalan yang sangat ketat. Sebelumnya, tokoh Malari itu sempat melakukan aksi di depan Istana Negara di Jalan Veteran.
Kejatuhan Soeharto ditandai dengan aksi ribuan mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan dan bukan melakukan aksi di halaman depan Istana.
Mahasiswa Trisakti
Pada era Presiden BJ Habibie, pagar dan halaman depan Istana Merdeka pernah ditembus sekitar 2.000 mahasiswa Universitas Trisakti yang menagih janji pengadilan bagi Soeharto. Mahasiswa tak hanya mengecoh aparat keamanan yang berjaga-jaga sangat ketat di areal ”ring satu” atau pengamanan 100 meter di depan Istana Merdeka, yakni di depan Gedung Indosat dan Departemen Pertahanan.