Buku atau film, misalnya, menurut kacamata bagian terbesar responden, bisa dilarang beredar. Dengan syarat, apabila isinya berpotensi memicu konflik di dalam masyarakat ataupun menyinggung masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selain itu, hal-hal yang dikesankan porno pun tidak ditoleransi oleh bagian terbesar responden.
Bahkan, terhadap buku dan film tentang komunisme, dalam kacamata terbesar responden harus dilarang peredarannya. Alasan untuk menyetujui pelarangan yang dikemukakan para responden sama dengan alasan yang sering dilontarkan Kejaksaan Agung ataupun LSF.
Para responden setuju pelarangan dengan alasan agar tidak merusak integrasi bangsa (40,7 persen) atau jika dianggap bisa melanggar ketertiban (28,5 persen). Responden lain berpendapat, pelarangan perlu dilakukan agar tidak menyinggung perasaan para pemeluk agama (23,2 persen), agar moral tetap terjaga (3,8 persen), menghindari intimidasi terhadap pihak tertentu (0,4 persen), dan isi buku atau film belum terbukti kebenarannya (3,3 persen).
Uniknya, jika ditelaah lebih lanjut, persetujuan terhadap
Di sisi lain, bagian terbesar responden menolak upaya pelarangan buku dan film. Mereka menyatakan ketidaksetujuan jika dilakukan pelarangan terhadap buku ataupun film yang memuat peristiwa sejarah lampau negeri ini, buku dan film yang bertutur mengenai hal-hal bersifat mistis, bahkan juga termasuk buku-buku yang menyinggung para penguasa negara saat ini. Terhadap buku
Alasan penolakan larangan, bagian terbesar responden berpandangan bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang luas dan bebas (44,4 persen). Selain itu, pelarangan bagi responden juga dinilai merupakan tindakan pembodohan masyarakat (15,9 persen).
Bentuk-bentuk ambiguitas masyarakat semakin jelas pula dalam beberapa persoalan yang memperhadapkan perlunya intervensi negara melalui aparaturnya. Dalam jajak pendapat ini, tampak benar bahwa bagian terbesar responden amat mendukung kebebasan berekspresi dan menyerap informasi.
Sebagai gambaran, lebih dari tiga perempat bagian responden menyatakan setuju apabila informasi publik dibuka seluas-luasnya dan transparan dengan kontrol dari masyarakat sendiri. Kondisi semacam ini pula yang tergambarkan dalam dukungan mereka terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin memudahkan wujud kebebasan berekspresi. Artinya, dalam kasus ini intervensi negara tidaklah diperlukan masyarakat.
Namun, persoalan menjadi berbeda tatkala mereka menilai masih perlu atau tidaknya kontrol terhadap berbagai buku serta film yang beredar dan memancing kontroversi. Paling tinggi, hanya seperempat bagian responden saja yang menyatakan tidak perlunya sensor ataupun intervensi terhadap persoalan yang terjadi. Bagian terbesar menginginkan adanya sensor