BE Julianery KOMPAS.com - Lebih dari satu dasawarsa gerak demokratisasi berjalan, belum juga tercapai suatu kesepakatan solid mengenai pemaknaan kebebasan berekspresi. Terbukti, penyikapan ambigu diekspresikan masyarakat dalam menilai perlu tidaknya dilakukan pelarangan berbagai hasil karya cipta yang terpublikasikan. Buku akan membuka serta memperluas pikiranmu dan membuat engkau jadi tangguh. Tak ada yang lain yang dapat membuatmu seperti itu,” kata penulis asal Amerika Serikat, William Feather. Tak ada orang yang membantah Di Indonesia, pikiran seperti ini hidup dan dijelmakan menjadi ketentuan hukum. Pelarangan buku, dan juga film, menjadi hal yang amat lazim pada masa pemerintahan Orde Lama serta Orde Baru. Namun, model pasungan semacam ini toh terjadi pula pada era kini, era saat kebebasan berekspresi yang menjadi simbol reformasi di negeri ini tengah berlangsung. Buktinya, pada pengujung tahun 2009, lima buku, yaitu Seakan melengkapi pasungan Kejaksaan Agung terhadap buku, Lembaga Sensor Film (LSF) pun diberitakan menghentikan peredaran film Berbagai upaya pemasungan yang dilakukan oleh lembaga negara ataupun institusi kemasyarakatan mengindikasikan belum sepenuhnya makna kebebasan berekspresi itu tersemai dan tumbuh subur di negeri ini. Tampaknya masih terdapat perbedaan yang kontras mengenai pemaknaan kebebasan berekspresi itu dalam setiap elemen di negeri ini. Di satu pihak, bisa jadi kebebasan berekspresi dimaknai sebagai suatu kemutlakan yang harus terwujud dalam setiap aspek kehidupan sosial tanpa adanya batasan, apalagi pelarangan. Namun, di pihak Di mata masyarakat, sebagaimana yang terekam dalam hasil jajak pendapat Namun, menariknya, jika dikaji lebih dalam, sekalipun dukungan terhadap kebebasan berekspresi itu tampak dominan, sebenarnya ekspresi penyikapan responden tersebut tampak ambigu. Sikap-sikap ambiguitas tersebut terlihat tatkala mereka menilai berbagai aksi pelarangan peredaran buku dan film selama ini. Sekalipun mereka menyetujui, dan bahkan menjunjung tinggi adanya kebebasan, di sisi lain mereka ”mengubur” kebebasan tersebut. Buku atau film, misalnya, menurut kacamata bagian terbesar responden, bisa dilarang beredar. Dengan syarat, apabila isinya berpotensi memicu konflik di dalam masyarakat ataupun menyinggung masalah suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Selain itu, hal-hal yang dikesankan porno pun tidak ditoleransi oleh bagian terbesar responden. Bahkan, terhadap buku dan film tentang komunisme, dalam kacamata terbesar responden harus dilarang peredarannya. Alasan untuk menyetujui pelarangan yang dikemukakan para responden sama dengan alasan yang sering dilontarkan Kejaksaan Agung ataupun LSF. Para responden setuju pelarangan dengan alasan agar tidak merusak integrasi bangsa (40,7 persen) atau jika dianggap bisa melanggar ketertiban (28,5 persen). Responden lain berpendapat, pelarangan perlu dilakukan agar tidak menyinggung perasaan para pemeluk agama (23,2 persen), agar moral tetap terjaga (3,8 persen), menghindari intimidasi terhadap pihak tertentu (0,4 persen), dan isi buku atau film belum terbukti kebenarannya (3,3 persen). Uniknya, jika ditelaah lebih lanjut, persetujuan terhadap Di sisi lain, bagian terbesar responden menolak upaya pelarangan buku dan film. Mereka menyatakan ketidaksetujuan jika dilakukan pelarangan terhadap buku ataupun film yang memuat peristiwa sejarah lampau negeri ini, buku dan film yang bertutur mengenai hal-hal bersifat mistis, bahkan juga termasuk buku-buku yang menyinggung para penguasa negara saat ini. Terhadap buku Alasan penolakan larangan, bagian terbesar responden berpandangan bahwa masyarakat berhak memperoleh informasi yang luas dan bebas (44,4 persen). Selain itu, pelarangan bagi responden juga dinilai merupakan tindakan pembodohan masyarakat (15,9 persen). Bentuk-bentuk ambiguitas masyarakat semakin jelas pula dalam beberapa persoalan yang memperhadapkan perlunya intervensi negara melalui aparaturnya. Dalam jajak pendapat ini, tampak benar bahwa bagian terbesar responden amat mendukung kebebasan berekspresi dan menyerap informasi. Sebagai gambaran, lebih dari tiga perempat bagian responden menyatakan setuju apabila informasi publik dibuka seluas-luasnya dan transparan dengan kontrol dari masyarakat sendiri. Kondisi semacam ini pula yang tergambarkan dalam dukungan mereka terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin memudahkan wujud kebebasan berekspresi. Artinya, dalam kasus ini intervensi negara tidaklah diperlukan masyarakat. Namun, persoalan menjadi berbeda tatkala mereka menilai masih perlu atau tidaknya kontrol terhadap berbagai buku serta film yang beredar dan memancing kontroversi. Paling tinggi, hanya seperempat bagian responden saja yang menyatakan tidak perlunya sensor ataupun intervensi terhadap persoalan yang terjadi. Bagian terbesar menginginkan adanya sensor