Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah MA-MK Berbenturan

Kompas.com - 14/08/2009, 05:19 WIB

Faktor utama

Sebetulnya peluang politik beperkara dan akrobat hukum tersebut dimungkinkan oleh hukum konstitusi. Sistem hukum Indonesia menganut jenjang peraturan perundang-undangan. Di sini berlaku kaidah hukum bahwa aturan yang berkedudukan lebih tinggi menghapus aturan di bawahnya (lex superior derogat legi inferiori) sehingga aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Namun, teori ini diabaikan ketika UUD 1945 diubah tahun 2001. Pengabaian ini menghasilkan pengaplingan peraturan dan pembagian kerja pengadilan dalam menguji peraturan. MA menguji peraturan di bawah UU. MK menguji UU.

Sayangnya pengaplingan itu tidak dirinci dan peraturan perundang-undangan sebagai obyek peradilan dirumuskan secara umum. UU dan peraturan di bawahnya bisa terkait erat, seperti tentang formula pemilu dalam UU Pemilu dan peraturan KPU meski kedudukan dan kekuatan hukumnya berbeda. Pengujian masalah serumpun dalam peraturan yang berbeda jenjang oleh MK dan MA dapat dan sudah menghasilkan putusan yang tidak koheren. UU MK 2003 mengatur cara mengatasinya. MA harus menghentikan pengujian peraturan ketika MK menguji UU terkait. Namun, MA tidak diharuskan memberi tahu MK dalam hal MA menguji peraturan di bawah UU. Revisi UU MK dapat memuat keharusan tersebut.

Putusan MK-MA yang tidak koheren juga dimungkinkan oleh penggunaan dasar pengujian yang berbeda. MK berdasarkan UUD, MA menggunakan UU. Perbedaan ini menyumbang keberanian MA untuk memerintahkan KPU merevisi penetapan (beschikking) hasil pemilu meski kompetensi MA ”diambil alih” Pasal 24C UUD 1945. Kompetensi MA atas hasil pemilu sudah diragukan sejak awal reformasi. Keraguan ini mendorong pembentukan MK dengan memberinya kewenangan menguji UU. Namun, MA tetap berwenang menguji peraturan di bawah UU, baik karena pertimbangan historis maupun faktor egosektoral. Putusan MA yang bertolak belakang tersebut di muka kembali membuktikan keraguan dimaksud.

Setelah perselisihan atas hasil semua jenis pemilu diselesaikan di MK, sebaiknya dihilangkan pula potensi benturan MA-MK dalam pengujian peraturan. Semestinya semua peraturan perundang-undangan, yang terkait secara hierarkis dan mengenai masalah serumpun, hanya diuji oleh satu pengadilan. Diperlukan amandemen terhadap Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com