Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah MA-MK Berbenturan

Kompas.com - 14/08/2009, 05:19 WIB

Mohammad Fajrul Falaakh

Suara rakyat sudah diberikan pada pemilihan umum. KPU menghitung suara pemilih dan sembilan partai dinyatakan lolos parliamentary threshold. Terjadilah akrobat politik dan hukum dalam penerapan formula pemilu dan penyelesaian perselisihan hasil pemilu.

Formula pemilu adalah rumus konversi suara pemilih menjadi kursi parlemen yang diatur dan diterapkan KPU berdasarkan Pasal 203-213 Undang-Undang Pemilu 2008 (Kata ”rumus” mencerminkan koherensi formula daripada kata ”tahap” yang mengesankan penjatahan kursi). Perselisihan hasil pemilu diperiksa dan diputus Mahkamah Konstitusi (MK).

Penetapan perolehan kursi oleh KPU digugat parpol, khususnya tentang pembagian kursi tahap ketiga. Putusan MK mengoreksinya sesuai UU Pemilu. Untuk tujuan revisi hasil pemilu, formula pemilu dalam Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2009 dimintakan pengujian ke Mahkamah Agung (MA) sehingga dinyatakan tidak berlaku. Kepentingan politik membenturkan MK-MA meski akhirnya diselesaikan melalui penafsiran MK tentang formula pemilu.

Peristiwa penting dalam sejarah peradilan dan ketatanegaraan ini membuktikan benturan antara rezim pengujian peraturan perundang-undangan dan rezim penyelesaian sengketa pemilu. Tulisan ini membahas potensi benturan yang melekat pada hasil amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Politik beperkara

Jumlah kursi DPR yang diperoleh parpol ditetapkan dalam SK KPU No 259/Kpts/KPU/2009 (9/5/2009). UU Pemilu 2008 dan UU MK 2003 membolehkan parpol menyatakan keberatan dan memerkarakannya. Sesuai Pasal 24C UUD 1945, keberatan terhadap penetapan KPU sudah dikoreksi dan diputus final oleh MK (11-24/6/2009). Putusan MK menjadi semacam otorisasi terhadap pembagian kursi DPR. Putusan MK berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) dan dapat langsung dilaksanakan KPU.

Namun, suatu akrobat hukum berhasil meyakinkan MA untuk menerima legal standing caleg, bukan parpol, sebagai pemohon pengujian Peraturan KPU No 15/2009. Maka empat putusan MA (18/6/2009; beredar 22/7/2009) membatalkan cara mengonversi suara pada tahap kedua dan ketiga. Keempat putusan bertolak belakang dengan pendapat majelis hakim yang sama tentang pokok masalah yang sama dalam Putusan MA No 12P/HUM/2009 (tanggal 2/6/2009).

Putusan MA menuai kontroversi. Wewenang MA sebatas menguji peraturan (Pasal 24A UUD 1945). Keputusan KPU dan KPU daerah mengenai hasil pemilu tidak termasuk kompetensi MA dalam peradilan administrasi (Pasal 2 Ayat 7 UU No 9/2004). Dua dari empat putusan MA melampaui batas 14 hari kerja menurut UU MA 2009. Pembatalan peraturan KPU memengaruhi pembagian kursi DPR/DPRD. Pelaksanaan putusan MA mengharuskan KPU dan KPU daerah mengubah pembagian kursi yang sudah dikoreksi MK.

Kontroversi ini mendorong langkah politik melalui jalur peradilan, yaitu meminta MK mengatur formula pemilu dengan menguji UU Pemilu. Akhirnya Putusan MK No 110-113/PUU-VII/2009 menafsirkan cara mengonversi suara pada tahap kedua dan ketiga (7/8/2009).

Faktor utama

Sebetulnya peluang politik beperkara dan akrobat hukum tersebut dimungkinkan oleh hukum konstitusi. Sistem hukum Indonesia menganut jenjang peraturan perundang-undangan. Di sini berlaku kaidah hukum bahwa aturan yang berkedudukan lebih tinggi menghapus aturan di bawahnya (lex superior derogat legi inferiori) sehingga aturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya. Namun, teori ini diabaikan ketika UUD 1945 diubah tahun 2001. Pengabaian ini menghasilkan pengaplingan peraturan dan pembagian kerja pengadilan dalam menguji peraturan. MA menguji peraturan di bawah UU. MK menguji UU.

Sayangnya pengaplingan itu tidak dirinci dan peraturan perundang-undangan sebagai obyek peradilan dirumuskan secara umum. UU dan peraturan di bawahnya bisa terkait erat, seperti tentang formula pemilu dalam UU Pemilu dan peraturan KPU meski kedudukan dan kekuatan hukumnya berbeda. Pengujian masalah serumpun dalam peraturan yang berbeda jenjang oleh MK dan MA dapat dan sudah menghasilkan putusan yang tidak koheren. UU MK 2003 mengatur cara mengatasinya. MA harus menghentikan pengujian peraturan ketika MK menguji UU terkait. Namun, MA tidak diharuskan memberi tahu MK dalam hal MA menguji peraturan di bawah UU. Revisi UU MK dapat memuat keharusan tersebut.

Putusan MK-MA yang tidak koheren juga dimungkinkan oleh penggunaan dasar pengujian yang berbeda. MK berdasarkan UUD, MA menggunakan UU. Perbedaan ini menyumbang keberanian MA untuk memerintahkan KPU merevisi penetapan (beschikking) hasil pemilu meski kompetensi MA ”diambil alih” Pasal 24C UUD 1945. Kompetensi MA atas hasil pemilu sudah diragukan sejak awal reformasi. Keraguan ini mendorong pembentukan MK dengan memberinya kewenangan menguji UU. Namun, MA tetap berwenang menguji peraturan di bawah UU, baik karena pertimbangan historis maupun faktor egosektoral. Putusan MA yang bertolak belakang tersebut di muka kembali membuktikan keraguan dimaksud.

Setelah perselisihan atas hasil semua jenis pemilu diselesaikan di MK, sebaiknya dihilangkan pula potensi benturan MA-MK dalam pengujian peraturan. Semestinya semua peraturan perundang-undangan, yang terkait secara hierarkis dan mengenai masalah serumpun, hanya diuji oleh satu pengadilan. Diperlukan amandemen terhadap Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945.

Mohammad Fajrul Falaakh Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com