oleh Subur Tjahjono
KOMPAS.com- Menilai sosok Liek Wilardjo (70) harus utuh. Hanya menilai dari “pandangan pertama” bisa salah sangka, karena akan terkesan kaku, nyaris tanpa ekspresi, dan irit bicara. Namun, dengan menyimak tulisan-tulisannya di media massa dan penuturan orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengan guru besar Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini barulah tergambar secara lengkap sosok cendekiawan yang utuh dan interdisipliner itu.
Spesialisasi yang ditekuni secara serius oleh ilmuwan kelahiran Purworejo, 24 September 1939 itu adalah fisika dan matematika. Selain itu ia meminati bidang filsafat ilmu, etika, pendidikan sains, bahasa keilmuan, dan telaah lintas agama.
”Kalau dibilang total ya total. Total dalam arti saya tidak nyambi jadi calo. Dagang ya tidak. Main valuta asing atau MLM (multi level marketing) tidak. Berpolitik juga enggak. Total dalam arti itu,” kata Pak Liek—sapaan akrab Liek Wilardjo--ketika diwawancarai Kompas di Rumah Makan Tempo Doeloe, Kota Salatiga, Jawa Tengah, Senin (15/6) lalu.
Akan tetapi, menurut dia, total pun dalam arti terbatas, baik dalam kualitas maupun kuantitas, terbatas juga dalam cakupan. ”Saya berkecimpung dalam dua kategori, yakni spesialisasi (fisika dan matematika) dan beberapa bidang lain di luar spesialisasi, yaitu filsafat ilmu, bahasa keilmuan, etika, sedikit telaah lintas agama, dan pendidikan sains. Di luar itu tidak terlibat,” ujar alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada tahun 1964 itu.
Spesialisasi di bidang fisika dan matematika itu memang didukung oleh latar belakang pendidikan S2 tahun 1965 dan S3 tahun 1970 di Michigan State University, Amerika Serikat. Penghargaan doktor honoris causa tahun 1990 di bidang sains juga dapat menjadi ukuran bagaimana perguruan tinggi terkemuka seperti Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, mengakui kecendekiawanannya. Ia dihargai karena menstandardidasi istilah-istilah fisika dan pandangan-pandangannya tentang ilmu yang normatif.
Mantan Rektor UKSW Dr Sutarno (76) memberi gambaran yang lebih utuh tentang Pak Liek yang pernah menjadi Pembantu Rektor I UKSW ketika Sutarno menjadi rektor 1973-1978. ”Ia apa adanya, terus terang, terkesan sombong, kurang diplomatis, sehingga sering menimbulkan salah paham atau antipati kalau melontarkan ide,” tutur Sutarno.
Padahal Pak Liek banyak idenya, seperti sistem kredit semester yang diperkenalkan Pak Liek di UKSW tahun 1973. Sistem kredit itu juga pertama diterapkan di Indonesia waktu itu. ”Menurut saya Pak Liek itu ilmuwan yang mumpuni, all round (serba bisa),” kata Sutarno.
Peneliti senior Lembaga Penelitian Percik di Salatiga, Dr Nico L Kana, menilai Pak Liek bukan tipe cendekiawan yang membutuhkan pentas dengan penonton yang bertepuk tangan. Pak Liek bukan sosok yang menonjol-nonjolkan diri. Meskipun demikian , Nico melihat sosok Pak Liek adalah cendekiawan yang selalu melihat segala hal secara utuh, sekalipun awalnya keahliannya adalah fisika dan matematika.
Salah seorang mahasiswanya di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro UKSW tahun 1975-1981, Dr Yuliman Purwanto, membuat catatan untuk peringatan 70 tahun di kampusnya tahun ini. Yuliman menilai, Pak Liek telah menjadi begawan humanisme lewat karya, perenungan, dan tulisan-tulisannya.