JAKARTA, KOMPAS.com — Sekretaris Umum Tim Kampanye Nasional Megawati-Prabowo, Fadli Zon, menyayangkan hingga sekarang masih saja ada pihak tertentu mencoba mendaur ulang isu-isu masa lalu untuk mengampanyehitamkan kandidat calon presiden-wakil presiden (capres dan cawapres) tertentu, dalam hal ini Prabowo Subianto.
Setelah sebelumnya Prabowo dikait-kaitkan dengan isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu, sekarang cawapres itu, menurut Fadli, kembali difitnah memiliki kewarganegaraan ganda selain sebagai warga negara Indonesia (WNI).
Dalam jumpa pers di Megawati-Prabowo Media Center di Jakarta, Senin (15/6), Fadli melansir upaya fitnah terjadi dalam sebuah acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta, yang ditayangkan Minggu malam. Dalam acara itu, Rachland Nashidik dari Imparsial menyatakan, Prabowo berkewarganegaraan ganda.
"Hal itu sama sama sekali tidak benar. Memang sepanjang tahun 1998-2000 Prabowo ada di Jordania. Dia ingin menghindari berbagai fitnah yang diarahkan kepada dirinya ketika itu," ujar Fadli.
Keberadaan Prabowo di negara itu, menurut Fadli, tidak lepas pula dari fakta kedekatannya dengan Raja Jordania ketika itu, yang sama-sama memiliki latar belakang komandan pasukan khusus dari negara masing-masing. Fadli membenarkan, pada tahun 1999 memang ada tawaran kepada Prabowo untuk beralih kewarganegaraan dan juga untuk menjadi Ketua Dewan Penasihat Militer Kerajaan Jordania.
"Tidak hanya dari Jordania, tawaran menjadi warga negara juga disampaikan dari negara lain. Namun, semua tawaran itu ditolak Prabowo karena memang masih ingin mempertahankan status kewarganegaraannya sebagai WNI, negara tempatnya dilahirkan dan dibesarkan. Dengan begitu tuduhan Rachland tersebut tidak benar," ujar Fadli.
Lebih lanjut Fadli mengaku curiga upaya kampanye hitam itu dilancarkan dan dipesan oleh pihak pesaing, yang mulai merasa khawatir popularitas jago mereka turun akibat tersaingi oleh pasangan kandidat, Megawati-Prabowo. Fadli juga mengkritik para tokoh dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menurutnya seharusnya bersikap netral serta menjadi kekuatan masyarakat sipil daripada terjebak menjadi alat politik pasangan kandidat tertentu.
Fadli bahkan mengaku telah menerima pesan singkat adanya rencana pertemuan sejumlah tokoh dan LSM di kawasan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) akhir Juni mendatang, yang sebetulnya upaya penggalangan kekuatan. Upaya menggalang kekuatan itu dilakukan untuk menyerang kandidat tertentu, seperti Wiranto dan Prabowo, dengan kembali mengusung isu pelanggaran HAM.
Terkait pernyataan Rachland, Fadli menegaskan, tim kuasa hukum Megawati-Prabowo tengah mengkaji kemungkinan membawa masalah itu ke meja hijau. Saat dihubungi terpisah per telepon, Rachland menegaskan, dirinya dalam acara talk show itu sekadar meminta kejelasan soal status kewarganegaraan Prabowo Subianto, yang menurutnya pernah diberitakan menerima tawaran kewarganegaraan dari Kerajaan Jordania.
"Saya hanya sampaikan di masa kampanye ini semua fakta yang masih belum jelas terkait semua kandidat capres-cawapres harus dijelaskan. Dalam konteks Prabowo, dia punya kewajiban menjelaskan fakta yang terjadi tahun 1998 ketika Kerajaan Jordania menawari dia status warga negara Jordania," ujar Rachland.
Rachland bahkan menyebutkan, informasi itu terekam dalam sejumlah pemberitaan media massa saat itu termasuk Kompas. Dalam pemberitaan Kompas, Selasa, 22 Desember 1998, yang mengutip koran lokal, Al-Ra'i, disebutkan adanya Dekrit Raja Kerajaan Jordania bagi Prabowo berisi penganugerahan status kewarganegaraan. Bahkan kemudian di Kompas juga, mantan Hakim Agung Adi Andojo dalam artikelnya menyebut pemberian kewarganegaraan seperti itu melanggar aturan kita. "Seharusnya Prabowo menyatakan jika dia memang menolak penganugerahan tersebut," ujar Rachland.
Sayangnya, tambah Rachland, Prabowo tidak pernah memberi pernyataan atau penjelasan soal apakah dia menerima atau menolak anugerah kewarganegaraan dari Kerajaan Jordania tersebut di media massa mana pun termasuk di Kompas. Padahal, sebagai cawapres dia sekarang wajib menjelaskan masalah itu.
Lebih lanjut Rachland mempersilakan saja jika memang ada langkah hukum atau gugatan terhadap dirinya. Menurutnya, konstitusi secara jelas mengatur baik capres maupun cawapres harus WNI. Dia menolak pernyataannya dinilai kampanye hitam.
Dalam penelusuran Kompas, pada pemberitaan Selasa, 5 Januari 1999, diwartakan, pihak Departemen Luar Negeri Indonesia telah mengajukan pertanyaan dan menunggu jawaban resmi melalui pihak Kedutaan Besar RI di Amman, Jordania, terkait pemberian anugerah kewarganegaraan terhadap Prabowo.
Sedangkan dalam pemberitaan Kompas, Jumat, 8 Januari 1999, Menteri Luar Negeri RI saat itu, Ali Alatas, menyebutkan, pemberitaan media di Jordania, Al-Ra'i, tidak didasari fakta menyusul pernyataan resmi Kerajaan Jordania yang mengaku tidak menemukan registrasi status kewarganegaraan Jordania kepada Prabowo Subianto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.