Cho mengaku ikut berdoa. Setelah 28 tahun, doa dan keinginan Sarwo Edhie terkabul karena Yudhoyono terpilih sebagai presiden dalam Pemilu 2004. Merasa doanya terkabul karena Yudhoyono menjadi Presiden, Cho yang tiga tahun sebelumnya telah berpindah kewarganegaraan memproses pergantian nama ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Pria kelahiran Seoul, 31 Juli 1942, ini berganti nama menjadi Djoko Yudhoyono. ”Saya cinta negeri ini dan saya cinta Yudhoyono. Cinta dan dukungan saya akan tetap meskipun Yudhoyono jatuh sekali pun,” ujar Djoko.
Saat ini, seluruh kartu identitas Cho, termasuk Kartu Pers Istana Kepresidenan, telah menggunakan nama Djoko Yudhoyono. Pin biru berlambang Partai Demokrat juga kerap dikenakannya di kerah.
Djoko sejak empat tahun terakhir juga bergabung dengan partai yang didirikan Yudhoyono, Partai Demokrat. Malah dia duduk di kepengurusan menjadi Ketua Daerah Pemilihan Luar Negeri (DPLN) Partai Demokrat Korea.
Seperti terhadap Yudhoyono, Djoko juga mengenal Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Djoko juga merasa menjadi bagian anggota keluarga besar Sarwo Edhie Wibowo.
Selain sebagai wartawan dan politisi, Djoko juga pengusaha. Sejak setahun terakhir, usaha perkebunan jarak dikembangkan bersama ribuan petani di lahan seluas sekitar 7.500 hektar di Pandeglang, Banten. Semua petani dipinjaminya modal dan diberi benih jarak untuk ditanam. Lima kawasan sedang direncanakan untuk pengembangan tanaman jarak.
Pengilangan minyak jarak dengan investasi 20 juta dollar AS sedang dalam tahap penyelesaian di Pandeglang. ”Saya ingin bikin Indonesia maju seperti Korea. Saya mulai dari memajukan desa. Desa maju dan sejahtera, negara akan maju dan sejahtera,” ujarnya.
Tujuh Yudhoyono telah lahir dan berkiprah diikuti ”yudhoyono-yudhoyono” lain yang juga aktif bergerak menyongsong Pemilu 2009.