Yudhoyono adalah nama yang diberikan Soekotjo ketika mendapati anak laki-lakinya lahir di lingkungan Pondok Pesantren Tremas, 15 kilometer dari pusat Kabupaten Pacitan, 9 September 1949. Menurut tentara yang berpangkat pembantu letnan satu (peltu) ini, Yudhoyono yang lahir selepas ashar mengandung arti pemenang setiap perang.
Nama adalah doa pemberi nama. Secara utuh, Susilo Bambang Yudhoyono didoakan Soekotjo yang menikah dengan Habibah agar menjadi orang yang santun, berjiwa ksatria, dan memenangi setiap peperangan. Jalan hidupnya, setidaknya seperti dituliskan secara serbasempurna di sejumlah buku, memang seperti memenuhi doa-doa itu.
Menang perang memang tidak selalu harus dalam posisi melihat pihak lain kalah. Dalam kekalahan, kemenangan juga bisa tetap diraih. Itu sebabnya, kenapa Yudhoyono kerap memberi nasihat kepada mereka yang kalah dalam pemilihan umum. Kekalahan adalah kemenangan tertunda. Semangat ini membuat Yudhoyono tidak pernah akan merasa kalah meskipun faktanya memang kalah.
Nasihat itu didasarkan pada pengalaman pribadinya saat dikalahkan Hamzah Haz saat bersaing menjadi wakil presidennya Megawati Soekarnoputri memperebutkan suara anggota MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 2001.
Kekalahan itu menumbuhkan kesadaran dalam dirinya untuk mendirikan partai politik sebagai kendaraan politik untuk meraih kekuasaan. Partai Demokrat dimatangkan ketika jabatan sebagai pembantu Presiden Megawati masih disandang. Tiga tahun kemudian, dalam Pemilu 2004, bukan hanya Hamzah, bahkan Megawati pun dikalahkan.
Sikap Yudhoyono ini dipahami betul oleh lima ”yudhoyono” lain dalam lingkungan keluarga besarnya. Karena itu, nama akhir Yudhoyono selalu disandang di akhir setiap nama sebagai pengingat dan doa sekaligus.
Enam Yudhoyono
Ani Yudhoyono terlahir dengan nama Kristiani Herawati dari keluarga tentara seperti Yudhoyono. Berbeda dengan Yudhoyono, Ani adalah anak ketiga Sarwo Edhie Wibowo, seorang tentara yang terpandang karena kiprah dan jasanya. Sarwo Edhie Wibowo diabadikan menjadi nama gedung di Kompleks Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Cijantung, Jakarta Timur.
Ani menambahkan nama Yudhoyono di belakang namanya setelah menikah dengan Yudhoyono pada 30 Juli 1976. Konsekuensi pernikahan itu membuatnya tidak bisa menamatkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang telah dijalaninya sampai tahun ketiga. Gelar sarjana ilmu politik dirintis dan kemudian diraih tahun 1998 dari Universitas Merdeka.
Kegemaran Ani pada dunia politik diwadahi dengan posisinya sebagai Wakil Ketua Umum Partai Demokrat yang didirikan Yudhoyono. Posisi ini didudukinya dan dilepas saat Yudhoyono kemudian terpilih sebagai Presiden dalam Pemilu 2009.